RAKYATCIREBON.ID, KALAU ada juara mengendarai mobil listrik di Indonesia, pialanya untuk Deky Andrianto Raharjo. Mobil listriknya sudah mencapai kilometer 56.967.
Mereknya Hyundai Ioniq. Dibeli tahun 2021. Perjalanan terjauhnya: dari Jakarta ke Padang Bay di pantai timur Bali.
"Ada acara keluarga di sana," ujar Deky di rumah saya kemarin malam.
Malam itu 8 orang pecinta mobil listrik kumpul di rumah saya. Mereka menobatkan saya sebagai anggota baru Koleksi –perkumpulan mobil listrik Indonesia. Saya menjadi anggota nomor 99. Diberi baju dan topi Koleksi. Juga stiker dan cangkir Koleksi.
Mereka mampir Surabaya setelah tur jarak jauh: Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya-Banyuwangi, balik lagi mau ke Jakarta. Teman baik saya dr Asro ahli urologi dari Lamongan ikut serta.
Anggota nomor satunya adalah Arwani Hidayat. Ia pendiri dan inisiator Koleksi. Mobilnya juga Hyundai. Juga tahun 2021. Ia-lah ketua pertama Koleksi.
Arwani adalah staf di DPR, di badan legislasi. Sejak tahun 2004. Sejak tamat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Arwani mencoba usaha. Apa saja. Fotokopi. Warnet. Komputer. Dosen.
Lalu kenal orang-orang politik. Ia ditarik menjadi staf di DPR.
Arwani sering ke luar negeri. Termasuk ke Norwegia. Di situlah hati Arwani tergerak: ingin membeli mobil listrik.
Di Norwegia, katanya, taxi pun sudah pakai mobil listrik. Hehe Tesla jadi taksi di sana.
Sebenarnya Arwani sudah terpikat mobil listrik sejak lama. Jauh sebelum ke Norwegia. Yakni sejak seseorang di Indonesia ingin menggalakkan mobil listrik.
Waktu itu ia belum punya uang. Tapi mimpi punya mobil listrik tidak padam. Mimpi itu membara setelah melihat sendiri negara paling sukses memasyarakatkan mobil listrik, Norwegia.
Semua yang ke rumah saya itu menjadikan mobil listrik sebagai yang utama, tapi tetap punya mobil bensin. Deky sudah jarang menggunakan mobil bensinnya: Honda Freed.
Rumah Deky di Cibubur. Tempatnya bekerja di Bekasi. Di PT Kharisma Tunggal Kamikawa. Yakni perusahaan yang memproduksi disinfektan. Deky lahir di Gubeng, lulusan UPN Veteran Surabaya.
Di antara anggota Koleksi yang punya mobil listrik terbanyak adalah Rio Aditya. Ia membeli 10 mobil Hyundai. Itu untuk mobil dinas perusahaan alat kesehatan. Perusahaan itu miliknya sendiri. Rio juga tetap mempertahankan mobil bensinnya: Lexus.
Rio ingat ketika pertama membeli mobil listrik. Belum banyak stasiun charging. Ia pernah kehabisan listrik di tengah perjalanan. Di kota Jakarta. Ia datangi tempat charging terdekat: lagi rusak. Ia pindah ke charging yang lebih jauh: juga rusak. Akhirnya Rio ke bengkel Hyundai. Ditolak.
"Alasannya, saya beli mobilnya tidak di situ," ujar Rio.
Ia ngotot. Pemilik bengkel menyerah. Ups... Rio yang menyerah. Ia harus membayar Rp200.000 sekali charging. Apa boleh buat. Demi mobil listrik.
Itu dulu.
Sekarang Hyundai sudah lebih baik. Pemilik mobil Hyundai bisa isi listrik di bengkel Hyundai yang mana pun. Tanpa dipungut harga setrum.
Saya juga kehabisan listrik –lagi. Rabu sore kemarin. Saat saya ke Pesantren Takeran, Magetan. Ada rapat di situ.
Tesla itu dikemudikan Mas Tomy C. Gutomo dari Surabaya. Saya sendiri naik mobil dari Jakarta. Kami akan bertemu di Takeran. Setelah rapat di pesantren itu saya bisa bersama Mas Tomy kembali ke Surabaya. Sudah ditunggu rapat lainnya.
Saya sudah berpesan pada Mas Tomy: tolong listrik dihemat. Jangan ngebut dan jangan injak gas nyendat-nyendat. Kang Sahidin pernah ke Takeran pakai Tesla. Bersama saya. Boros listrik. Bukan hanya ngebut tapi selip-selip apa saja. Dikejar waktu.
Tiba di Takeran listrik Kang Sahidin tinggal 119 km. Pasti tidak cukup untuk kembali ke Surabaya. Teman-teman SMK PSM Takeran memang sudah menyiapkan charging darurat. Tanpa pernah lihat Tesla.
Tidak berfungsi.
Kami tetap kembali ke Surabaya. Dengan listrik yang ada. Gaya mengemudi kang Sahidin memang sudah berubah, tapi listrik terlalu sedikit.
Sampai di Jombang tinggal 20 Km. Jelas tidak cukup. Kami pun mampir ke percetakan Tabloid Nyata. Di Jombang. Dibikinlah charging darurat. Ada ahli listrik yang berpengalaman di situ.
Beres.
Kami tidak kapok. Ingin coba lagi ke Takeran pakai Tesla. Sekalian riset kecil-kecilan: apakah ketika Kang Sahidin diganti Mas Tomy ada bedanya.
Ada. Sedikit. Sedikit sekali.
Waktu dari Jakarta –exit tol Ngawi– saya mampir di pusat Jamaah Tabligh di Temboro, antara Ngawi dan Takeran. Saya lupa ingatkan kembali Mas Tomy: hemat listrik!
Saya tiba lebih dulu di Takeran. Mas Tomy tiba ketika saya sudah selesai rapat. Kami pun langsung balik ke Surabaya. Saya lihat layar di mobil: tinggal 160 km. Pasti tidak cukup. Saya lihat di Google: jarak Takeran-Surabaya 180 km.
Lanjut. Jalan terus. Will be, will be. Mungkin bisa charging di rest area dekat Mojokerto.
Benar. Sampai menjelang rest area (Km 695) itu tinggal 30 km. Pasti tidak cukup. Ternyata tidak ada charging di situ.
Mas Tomy minta saya duluan ke Surabaya. Agar tidak menunda rapat. Ia tetap di rest area. Ia akan cari jalan untuk mengatasinya.
Mas Tomy pun telepon kantor PLN Mojokerto. Tidak punya fasilitas charging. Ia juga telepon Hyundai. Sebenarnya Hyundai punya mobil charging. Bisa bergerak ke mana pun. Mau juga membantu yang bukan Hyundai.
Mas Tomy diminta memotret colokan listrik Tesla. Ternyata colokan Hyundai dan Tesla berbeda.
Gagal.
Mas Tomy ingat Pria Disway yang satu ini: Mas Warijan. Tinggalnya di luar kota Mojokerto. Warijan juga ingat sesuatu. Saya pernah minta agar kantor harian Radar Mojokerto membuat colokan listrik yang bisa untuk Tesla. Saya pernah menggunakannya. Waktu itu teman-teman PLN Mojokerto yang mengerjakannya.
Lega. Mas Tomy siap-siap meninggalkan rest area. Dengan modal ingatannya: masih sisa listrik 30 km.
Begitu layar menyala Mas Tomy terpana: tinggal 20 km. Lanjut. Go! Spekulasi.
Mas Tomy pun memilih exit terdekat: di Mojokerto Barat. Listrik tinggal untuk 5 km.
Lanjut. Spekulasi. Sampai jembatan masuk kota Mojokerto listrik habis. Sama sekali. 0 km. Padahal kantor Radar masih sekitar 10 km lagi.
Untungnya mobil masih bisa jalan. Mas Tomy bertekad untuk jalan terus. Sampai benar-benar berhenti sendiri.
Kantor Radar Mojokerto pun kelihatan. Tesla masih bisa jalan. Sampai pun tiba di halaman Radar. Yeeeiiiii. Aman.
Mas Tomy nunut mengerjakan Disway edisi cetak di kantor Radar milik Jawa Pos. Sambil menunggu isi listrik. Semoga pimpinan Jawa Pos tidak membaca Disway pagi ini.(Dahlan Iskan)