Menurutnya, munculnya kasus ini menjadi indikator bahwa pemerintah di tingkat desa belum dapat menjalankan amanah masyarakat desa untuk mewujudkan pemerintahan bersih dan berwibawa. Bersih berarti bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, sehingga perlu diadakan panitia khusus untuk mengaudit semua pemerintah di desa dalam lingkup pemerintah kabupaten Cirebon.
"Tidak tercapainya pemerintah desa yang bersih dan berwibawa adalah lemahnya pengelolaan pemerintahan, kurangnya integritas, dan rendahnya pemahaman terhadap peraturan. Dampak dari permasalahan tersebut adalah tidak optimalnya pengelolaan sumber daya desa, penyalahgunaan kewenangan, dan munculnya permasalahan hukum yang melibatkan aparat desa," tegasnya.
Menurut Tjandra, nilai-nilai kebangsaan dan kepemimpinan harus ditanamkan di desa agar memiliki kepemimpinan yang berintegritas, inovatif, dan konstruktif sehingga dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Nilai-nilai kebangsaan tersbut antara lain; religius, kemanusiaan, keseimbangan, produktivitas, demokrasi, kesamaan derajat, dan ketaatan hukum. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus berdasarkan asas: a. kepastian hukum; b. tertib penyelenggaraan pemerintahan; c. tertib kepentingan umum; d. keterbukaan; e. proporsionalitas; f. profesionalitas; g. Akuntabilitas; h. efektivitas dan efisiensi; i. kearifan lokal; j. keberagaman; dan k. partisipatif. (pasal 24 UU No.6 / 2014 tentang Desa)
"Apabila nanti terbukti pemerintah desa melakukan pemotongan terhadap manfaat jaminan kematian (JKM) maka yang dapat dijadikan dasar rujukan untuk masyarakat yang dirugikan adalah : Ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan salah satunya diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menjamin hak-hak dasar dan memberikan pelindungan kepada warga masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945," imbuhnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, warga masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menjamin bahwa keputusan dan/atau tindakan badan dan/atau pejabat pemerintahan terhadap warga masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena-mena.
"Dengan adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 maka warga masyarakat tidak akan mudah menjadi objek kekuasaan negara. Selain itu, Undang-Undang ini merupakan transformasi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang telah dipraktikkan selama berpuluh-puluh tahun dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan dikonkretkan ke dalam norma hukum yang mengikat," jelasnya.
Asas ini mewajibkan setiap badan dan/atau pejabat pemerintahan untuk tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.
Menurut ketentuan Pasal 17 UU Nomor 30 Tahun 2014, badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, larangan itu meliputi larangan melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang, dan/atau larangan bertindak sewenang-wenang. (*)