* Penulis : Alvita Rachma Devi (Analis Yunior Bank Indonesia Cirebon)
PADA bulan November 2025, kota Cirebon tercatat mengalami inflasi sebesar 2,87% (yoy), lebih tinggi dibandingkan inflasi Jawa Barat dan nasional yang masing-masing mencapai 2,54% (yoy) dan 2,72% (yoy). Inflasi kota Cirebon lagi-lagi dipengaruhi oleh komoditas pangan seperti cabai merah dan cabai rawit. Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Majalengka yang tercatat mengalami inflasi sebesar 2,95% (yoy), dipengaruhi oleh tingginya harga bawang merah karena pasokan yang terganggu akibat cuaca.
Bahan pangan seperti cabai dan bawang merah kerap menjadi penyumbang inflasi, tidak hanya di Cirebon dan Majalengka, tetapi hampir di seluruh kota inflasi. Pada tahun 2025, cabai merah di kota Cirebon pernah mencapai harga tertinggi sebesar Rp74.400/kg pada minggu pertama bulan Maret 2025 karena meningkatnya permintaan di awal bulan Ramadan. Sementara itu, bawang merah mencapai harga tertinggi di level Rp55.000/kg pada pertengahan bulan Agustus 2025 seiring dengan dimulainya masa tanam.
Kenapa harga cabai dan bawang merah kerap berfluktuasi sehingga sangat mempengaruhi tingkat inflasi di suatu daerah? Sederhananya, karena mayoritas orang Indonesia sangat menyukai makanan pedas seperti sambal, dimana bahan baku utamanya adalah cabai dan bawang merah. Bagi masyarakat Indonesia, sambal tidak sekedar menjadi pelengkap di meja makan, tetapi identik dengan profil kuliner Nusantara, bahkan menjadi identitas daerah. Beragam jenis sambal menjadi representatif daerah, seperti sambal matah, roa, terasi, dabu-dabu dan lain-lain.
Karena itulah, harga cabai dan bawang bisa dikatakan hampir tidak elastis – meskipun harga naik, permintaan selalu ada. Akibatnya, harga cabai dan bawang merah rentan melonjak tinggi, terutama ketika persediaannya terbatas seperti ketika menjelang hari raya keagamaan, atau ketika pasokan terganggu akibat cuaca atau distribusi. Dampaknya langsung terasa pada inflasi pangan dan kondisi psikologis masyarakat, sehingga tidak heran cabai dan bawang merah merupakan salah satu komoditas penyumbang inflasi pangan tertinggi.
Jadi apa yang perlu dilakukan untuk menjaga harga cabai dan bawang merah tetap stabil? Kunci utamanya adalah dengan menjaga stabilitas pasokan komoditas tersebut. Cabai dan bawang merah merupakan komoditas yang sangat sensitif dengan perubahan cuaca dan serangan hama. Curah hujan yang tinggi meningkatkan kelembapan dan memincu jamur, sementara kekeringan ekstrem juga menghambat pertumbuhan cabai dan bawang merah. Selain cuaca, keberhasilan panen cabai dan bawang merah bergantung pada unsur hara yang seimbang. Karena itulah, pemberian air dan pupuk harus presisi untuk mendapatkan hasil panen yang optimal.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menjaga pasokan pangan stratagis, diantaranya membentuk Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), mendukung kelancaran distribusi dari daerah surplus/sentra ke daerah nonsentra/defisit, mendorong kemitraan antarwilayah seperti pembentukan Gapura Pangan oleh pemerintah kota Cirebon, memperluas Program Pekarangan Pangan Bergizi (P2B) dengan target 40.000 desa di 430 kabupaten/kota, dan lain-lain. Upaya lain yang perlu didorong untuk meningkatkan pasokan pangan adalah melalui pemanfaatan digital farming.
Digital Farming
Teknologi telah mengambil peran penting di berbagai sektor, tak terkecuali pertanian. Digital farming atau digitalisasi pertanian dapat membantu petani untuk menentukan keputusan berdasarkan data, dari waktu yang tepat untuk menanam, memeriksa unsur hara dan menginformasikan jumlah pupuk yang ideal, hingga kapan waktu panen yang tepat.
Negara maju seperti Jepang dan Belanda telah menggunakan Internet of Things (Iot) untuk mengukur kelembapan tanah, cuaca mikro, dan intensitas cahaya. China menggunakan smart irrigation untuk pertanian di Henan yang bisa memberikan efisiensi sampai 90%. Adopsi digital farming di Indonesia juga mulai berkembang pesat. Berdasarkan ProSpace Indonesia’s AgTech Adoption Report, sejak tahun 2023 praktik pertanian berbasis teknologi di Indonesia telah tumbuh 47%.
Bank Indonesia Cirebon turut mendorong pemanfaatan digital farming sebagaimana yang telah dilakukan di salah satu klaster bawang merah unggulan di Panyaweuyan, Kabupaten Majalengka. Klaster tersebut telah menggunakan Smart Sprinkle Irrigation, sistem terintegrasi yang berfungsi untuk mengoptimalkan penyiraman, didukung dengan pengembangan sistem irigasi melalui pompanisasi dan pipanisasi yang menjamin ketersediaan air secara merata, bahkan di musim kemarau.
Petani di Panyaweuyan juga menggunakan Internet of Things (IoT) NPK Portable yang dapat melakukan pemantauan kondisi tanah serta pengukuran kandungan hara secara real-time. Penggunaan teknologi tersebut membantu dalam penentuan waktu tanam, penyiraman otomatis, dan penggunaan pupuk atau pestisida secara tepat dosis dan tepat waktu, menyesuaikan dengan kondisi riil di lapangan. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya operasional, dan meningkatkan produktivitas hasil panen.
Dampak yang dialami oleh klaster bawang merah Panyaweuyan dari penggunaan digital farming tersebut adalah meningkatnya produktivitas dari 2 kali tanam/tahun menjadi 4 kali tanam/tahun. Seiring dengan peningkatan produksi bawang merah, klaster ini mampu mendorong jumlah penjualan dan memenuhi kebutuhan bawang merah, baik di wilayah Ciayumajakuning, bahkan sampai membuka pasar ekspor hingga ke Singapura.
Bank Indonesia mereplikasi penggunaan IoT pertanian ini di klaster pangan lainnya di Ciayumajakuning, seperti di klaster cabai merah Kuningan, klaster beras di Indramayu, dan klaster bawang merah di Kabupaten Cirebon. Pasca pemanfaatan IoT dan strategi tanam lainnya, produktivitas cabai merah di klaster Kuningan meningkat hingga 15–20%, dengan kualitas buah yang lebih seragam dan tahan simpan yang lebih lama.
Digital farming menjadi angin segar tidak hanya bagi petani, tetapi juga bagi masyarakat. Teknologi membantu petani untuk menjaga keseimbangan unsur hara, ketersediaan air, dan kondisi tumbuh lainnya sehingga tanaman dapat tumbuh subur dan ketergantungan terhadap cuaca berkurang. Jumlah panen yang dihasilkan bisa lebih optimal dan risiko gagal panen turun.