RAKYATCIREBON.ID – Upah Minimum Kabupaten (UMK) tahun 2022 di Jawa Barat sudah ditetapkan. Kabupaten Cirebon berada di posisi ke 3, se wilayah III Cirebon, setelah Indramayu dan Kota Cirebon. Ada kenaikan dari tahun sebelumnya yang nilainya sebesar Rp10 ribu.
Hal itu, tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Barat Nomor :561/Kep.732-Kesra/2021 tanggal 30 November 2021 tentang Upah Minimum Kota/Kabupaten di daerah Provinsi Jawa Barat tahun 2022. Untuk rincian UMK 2022 mendatang, Kabupaten Indramayu bertengger diangka Rp2.391.567. Kemudian, Kota Cirebon Rp2.304.943 dan Kabupaten Cirebon Rp2.279.982. Sementara Kabupaten Majalengka Rp2.027.619 dan terakhir Kabupaten Kuningan Rp1.908.102.
Menanggapi hal itu, Sekretaris FSPMI Cirebon Raya, Moch Mahbub menilai, kenaikan UMK Kabupaten Cirebon ditahun 2022, tidak seberapa. Nilainya pun lebih murah daripada sebungkus pakan ternak. Dengan Rp10 ribu, membeli pakan untuk hewan peliharaan pun, takan cukup.
“Kenaikan sebesar Rp10.426 ini tidak manusiawi. Untuk makan dengan lauk yang sederhana diwarung makan saja, bisa lebih dari angka itu. Kalau Rp10.426 dibagi 25 hari kerja dalam sebulan hanya Rp417. Bayangkan empat ratus perak buruh harus bertahan hidup untuk sebulan,” katanya.
Artinya, buruh yang bekerja 25 hari dalam sebulan yang menghasilkan nilai produksi atau jasa kenaikannya lebih mahal dari harga sebungkus pakan ternak, belum lagi ditambah anak dan istrinya.
Makanya, pihaknya menolak dengan tegas kenaikan UMK Kabupaten Cirebon tahun 2022 yang tidak manusiawi itu.
“Kami meminta kenaikan UMK sebesar 10 persen. Berdasarkan kebutuhan hidup layak Buruh di Kabupaten Cirebon sebanyak 64 item (Permenaker No. 18 2020). Data ini kami dapat setelah kami melakukan survey KHL di tiga pasar tradisional yaitu pasar Plered, pasar Minggu dan pasar Arjawinangun,” terangnya.
Tapi, pasca putusan MK, tuntutannya, tidak lagi diangka 10 persen. Melainkan diangka 4-5 persen saja. Ketika dirupiahkan, tuntutan kenaikan itu, berada di angka Rp 113 ribu.
Hanya saja, ada beberapa poin yang harus diperhatikan. Dimana amar putusan nomor 7 seharusnya pemerintah menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.
Artinya, kata Machbub PP nomor 36 tahun 2021 tidak boleh dijadikan landasan dalam menetapkan upah minimum.
Selain itu, dari amar putusan itu juga, tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU nomor 11 tahun 2020.
“Saat ini, pemerintah terlalu memaksakan diri menggunakan UU yang inkonstitusional,” tegasnya.
Tentu, penetapan UMK telah menyayat buruh. Buruh pun mengancam akan melakukan aksi mogok kerja. “Nanti, 6,7,8 Desember, kita akan mempersiapkan mogok nasional. Ini akan diikuti oleh 2 juta buruh diseluruh Indonesia,” pungkasnya. (zen)