RAKYATCIREBON.ID - Pegiat budaya asal Cirebon, Akbarudin Sucipto menyatakan dukungan penuh wacana pembentukan Provinsi Cirebon. Menurut Akbar, wacana tersebut harus disikapi dengan positif. Pro-kontra atas wacana itu dinilai sebagai sebuah keniscayaan.
\"Kabar soal adanya rencana pembentukan Provinsi Cirebon yang dipersiapkan oleh P3C dan KP3C haruslah ditangkap sebagai sesuatu yang wajar dan lumrah terjadi di era pasca reformasi,\" ujar pria yang akrab disapa Akbar itu.
Saat ini, sejumlah tokoh yang merespons wacana Provinsi Cirebon berbeda pandangan. Ada yang setuju, tak sedikit pula yang menolak. Namun, kata Akbar, apapun sikap yang muncul harus proporsional dan saling bisa hormati perbedaan.
\"Semua pihak yang setuju pun harus saling bersinergi, proporsional dan lebih mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi masyarakat. Bagi para pihak yang tidak setuju pun diharapkan tetap bisa menghormati perbedaan yang ada,\" ujarnya.
Beriringan dengan wacana Provinsi Cirebon, Akbar meminta Pemprov Jawa Barat tak bersikap apatis. Jangan sampai, kemunculan wacana ini ditanggapi ketus dengan menurunkan intensitas pembangunan bagi wilayah Cirebon Raya atau Ciayumajakuning.
\"Pemerintah Provinsi Jabar jangan sampai pundung (marah, red) hanya karena gara-gara Cirebon mau jadi provinsi. Pembangunan di Cirebon dan Ciayumajakuning jangan sampai berhenti hanya pada alun-alunnya saja. Banyak sektor di Ciayumajakuning ini yang harus digenjot pembangunannya oleh Provinsi sebagai bukti serta pengakuan bahwa Cirebon, Pantura dan Ciayumajakuning ini masih menjadi bagian wilayah Provinsi Jawa Barat,\" tegasnya.
Wacana Provinsi Cirebon, lanjut Akbar, harus pula dilihat sebagai proses demokrasi kebebasan berpendapat. Sama halnya dengan wacana ubah nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Pasundan. Sehingga, sebagai bagian dari kebebasan berpendapat, wacana Provinsi Cirebon harus disikapi secara proporsional.
\"Munculnya ide dan gagasan lahirnya Provinsi Cirebon jika dilihat latar belakangnya, memang sangat kompleks dan rumit. Baik yang bersifat struktural maupun kultural. Sebut saja misalnya wacana rencana perubahan nama Provinsi Jawa Barat menjadi Pasundan ini sangat menohok masyarakat di wilayah Cirebon, khususnya Ciayumajakuning,\" katanya.
Lebih rinci, jika Provinsi Jawa Barat berubah nama menjadi Provinsi Pasundan, maka Provinsi Cirebon bisa jadi Provinsi Jawa Barat.
\"Jadi bisa saja nanti nama provinsi yang baru tersebut sebagai representasi masyarakatnya berbasis etnisitas dan kultural akan bernama Cirebon Raya atau kembali menggunakan nama Jawa Barat ketika Provinsi Jawa Barat berubah menjadi Provinsi Pasundan,\" ucapnya.
Berbeda dengan Akbar, Anggota Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) yang juga pegiat budaya Cirebon, R Chaidir Susilaningrat mengatakan, isu Provinsi Cirebon dinilai elitis, karena ramai di tataran elit saja. Makanya, kerap muncul dan tenggelam.
Baginya, isu Provinsi Cirebon belum sampai ke tataran masyarakat bawah. Menurutnya, apapun bahasa yang dimunculkan, masyarakat Cirebon nampaknya tetap adem ayem. Karena dipastikan gagasan itu muncul bukan dari bawah.
\"Tapi lebih digagas oleh kalangan menengah, tanpa dasar kajian rasional dan realistis, didukung data-data yang memadai. Sehingga hanya menjadi obrolan ringan yang tidak ada gregetnya,\" kata pria yang juga pegawai senior Pemkab Cirebon, Selasa (28/9).
Dia mempertanyakan benarkah ketika Cirebon menjadi provinsi, masyarakat semakin sejahtera?. Pertanyaan itu, kata dia, pantas dimunculkan. Karena tidak ada penjelasan logis yang bisa membuat orang meyakininya.
“Kita bisa lihat fakta-fakta yang ada di Daerah Otonomi Baru (DOB), sebagaimana kajian Ditjen Otda Kepmendagri. Misalnya pemekaran daerah lebih didorong faktor politis, ketimbang objektif dan teknis kepemerintahan,” tuturnya.