RAKYATCIREBON.ID - Himpunan Pedagang Pasar (HIMPPAS) Desa Jungjang, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, belum lama ini melaporkan inisial SI dan SA ke Unit Tipidkor Polresta Cirebon. Lantaran kedua orang ini diduga melakukan pungutan liar (Pungli) booking fee pada revitalisasi pembangunan pasar Desa Jungjang.
Kuasa Hukum HIMPPAS, Fery Ramadhan mengatakan, perkembangan perkara tersebut kini baru berjalan pada tahapan memintai keterangan dari pihak pelapor dan pemanggilan saksi-saksi.
Ia menjelaskan, dugaan pungutan liar tersebut bermula dari penunjukan pihak ketiga yang diduga tidak sesuai peraturan dan perundang-undangan.
“Mereka menghimpun dana masyarakat, kwitansi yang menandatangani bukan dari instansi Desa. Melainkan tim evaluasi yang dibentuk oleh Desa, namun memakai kwitansi dari pihak ketiga PT DUMIB,\" ungkap Fery.
Dugaan ketiga, kata Fery, uang yang dihimpun dari masyarakat ini akan digunakan untuk membangun pasar tersebut. Jika demikian, kedudukan pihak ketiga tidak memiliki dana atau modal untuk melakukan pembangunan.
“Kita menduga bahwa penggunaan anggaran ini tidak jelas. Tidak dapat dipertanggungjawabkan dana yang dihimpun dari masyarakat tersebut, untuk apa penggunaannya. Kenapa ada booking fee dan terpisah dari biaya sewa tersebut,” katanya.
Selain itu, pihaknya juga menolak pembangunan dilaksanakan sebelum ada kesepakatan harga dengan pedagang. “Kenapa harus ada pihak ketiga, dan masih memungut dana dari masyarakat,” katanya.
Sementara itu, pelapor dugaan tersebut, Asir (55 tahun) pedagang asal Desa Junjang yang tergabung dalam HIMPPAS mengaku keberatan atas tindakan pihak ketiga yang sudah memintai uang booking fee revitalisasi Pasar Jungjang tersebut.
“Yang dilaporkan masalah booking fee, merasa keberatan pasar belum jadi sudah dipunguti booking fee,” ujar Asir.
Terlebih, kata Asir, demi membayar uang booking tersebut para pedagang harus rela berhutang ke kerabat dan teman-temannya. Hal itu dilakukan, agar tidak kehilangan los atau kios yang selama ini ditempatinya ketika dibangun ulang nanti.
“Persetujuan harga belum ada dan juga kalau booking fee itukan, seperti waktu kita dulu kita membangun pasar booking fee itu istilahnya tidak ada. Dulu pembangunan sudah berjalan sekian persen baru di mintain DP. Sekarang belum apa-apa sudah dimintai booking,” ungkapnya.
Ia mengaku, telah disuruh membayar uang booking fee itu oleh panitia, senilai Rp 2,5 juta untuk kios ukuran 2x3 meter. Namun, anehnya selang beberapa kurun waktu terjadi perubahan atas harga sewa kios yang sudah dibookingnya melalui selebaran brosur penawaran harga yang diedarkan kepada pedagang.
“Harganya waktu saya booking Rp 108 juta, kayaknya ada 3 kalu perubahan makin naik kalau kios. Harga terakhir ukuran 2x3 yang dulunya Rp 108 juta, sekarang Rp 126 juta berarti naiknya Rp 18 juta. Saya dikasih penawaran 3 brosur,” ungkapnya.
Bahkan kata dia, pada brosur yang ketiga kembali terdapat perbedaan harga lagi dari brosur sebelumnya. Yakni, kios yang sebelumnya dibandrol harga sewa senilai Rp 151 juta berubah naik menjadi Rp 243 juta.
“Keinginan pedagang sendiri istilahnya ada kesepakatan harga dulu. Nah, setelah selesai masalah kesepakatan harga, silahkan membuat pasar darurat tidak apa-apa,” katanya. (zen)