RAKYATCIREBON.ID - Pedagang Pasar Desa Jungjang Kecamatan Arjawinangun kecewa. Pasalnya, mereka merasa dikhianati pemerintah desa (Pemdes) atas kesepakatan yang telah dibuat.
Mereka yang terhimpun dalam Himpunan Pedagang Pasar (HIMPPAS) Desa Jungjang didampingi beberapa organisasi masyarakat (Ormas) mengadakan pertemuan dengan Forkopimcam Arjawinangun, Pemdes Jungjang, dan PT DUMIB selaku investor proyek pasar.
Namun, kuwu dan pucuk pimpinan PT DUMIB tidak menghadiri pertemuan. Padahal, pertemuan tersebut untuk membahas tindaklanjut kesepakatan berita acara rapat pembangunan revitalisasi pasar Jungjang yang digelar Senin lalu, (28/6) di Koramil 2019 Arjawinangun.
Sehingga, persoalan tersebut masih belum menemui titik terang. Meskipun hasil dari pertemuan itu salah satu tuntutan para pedagang tercapai. Yakni pembangunan pasar darurat telah dihentikan sementara, sebelum ada kesepakatan harga.
“Dari sisi pertemuan hasilnya bagus, kesimpulannya bagus bahwa pasar darurat sudah dihentikan. Kita sangat bersyukur, karena itu membuat kita sementara tenang dulu,” ujar Radi, perwakilan HIMPPAS.
Namun, menurut Radi, secara posisi fundamental dari duduk persoalan belum ketemu. Para pedagang tetap menginginkan untuk bertemu dengan kuwu sebagai pemegang kewenangan penuh di desa.
“Terakhir ketemu di koramil, dan disepakati tapi kuwu itu tetap mengkhianati kesepakatan itu. Satu, bahwa pihak PT akan memberikan RAB dan gambar ke kuwu, kemudian kuwu memberikan ke pedagang. Kemudian akan dipelajari oleh tim pedagang untuk bermusyawarah menghasilkan harga yang disepakati,” ungkapnya.
Setelah pertemuan di koramil, pembangunan pasar darurat masih berjalan. Hal itu yang memicu suasana keributan. “Itu kesalahan-kesalahan kuwu adalah memicu adanya kerumunan ketika pasar darurat dijalankan. Sedangkan ini sedang masa PPKM darurat,” ujarnya.
Kuasa Hukum HIMPPAS, Ferry Ramadhan mengatakan, pihaknya menyayangkan sikap kuwu setempat yang terkesan enggan bertemu dengan masyarakat pedagang. Padahal keinginan para pedagang hanya untuk berdialog dan musyawarah mengenai harga los dan kios.
“Sampai saat ini pihak kepala desa belum mau dialog dengan para pedagang dan cenderung menghindar, sehingga belum ada kesepakatan. Harga untuk sewa kios. Intinya kuwu beralasan sakit saat musyawarah,” ujar Ferry.
Ia menilai, pada prosesnya ada dugaan pungutan liar (Pungli) booking fee bervariatif dalam revitalisasi tersebut. “Sangat syarat dengan pungli, hal ini di karenakan pihak ketiga menghimpun dana dari para pedagang yang jumlahnya tidak sedikit. Kurang lebih Rp 2,5 juta per pedagang, dimana uang tersebut wajib dibayar oleh para pedagang melakukan booking fee los,” ungkapnya.
Sementara itu, Plt Camat Arjawinangun H Sutismo menyampaikan, permasalahan ini bermuara pada pemerintah desa, sesuai dengan Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang otonomi desa.
“Jadi setiap permasalahan yang ada, ada di pemerintahan desa terkait pembangunan pasar,” katanya.
Menurutnya, secara hukum, pembangunan pasar itu sudah memiliki hukum tetap. Artinya pengembang atau pihak ketiga sudah memiliki IMB dari tahapan-tahapan yang telah dilalui. Dengan dasar itu pula, sudah bisa melaksanakan hak untuk pembangunan.
Hanya saja, kata dia, permasalahan ini ranahnya ada di pemerintah desa. Pemerintah desa dalam membangun juga pada awalnya telah musyawarah. “Soal harga sebenarnya antara pemdes dan PT DUMIB sudah oke. Sebenarnya kalau menurut saya tidak sulit, kuwunya orang situ dipilih oleh masyarakat situ ya komunikasi saja lah,” pungkasnya. (zen)