RAKYATCIREBON.ID - Kuasa Hukum dr Herry Nur Hendriyana, Moh Djarkasih SH MH mempertanyakan, jaminan yang diberikan dua kepala daerah terhadap terdakwa kasus penganiayaan sesama dosen di Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ), Donny Nauphar. Baginya, jaminan itu mempertaruhkan nama baik serta reputasi keduanya.
Ditambah lagi adanya ketidaknetralan pihak kampus dengan menempatkan Rektor UGJ, Prof Dr H Mukarto Siswoyo MSi sebagai salah satu penjamin perubahan status tahanan Donny Nauphar menjadi tahanan kota.
\"Dari awal sangat terlihat ada keberpihakan kampus pada pelaku. Belum lagi dua kepala daerah menjamin terdakwa,\" ungkap Djarkasih.
Dengan adanya upaya tersebut, pihaknya menduga ada intervensi dari kepala daerah menyangkut persoalan pribadi seseorang yang menjalani proses hukum. Meskipun menurut informasi, keduanya secara tertulis menjamin atas nama ketua Satgas Penanganan Covid, bukan kepala daerah. Namun lagi-lagi tetap posisi mereka selaku kepala daerah melekat, dan masyarakat akan menyoroti posisi itu.
Djarkasih pun menyayangkan, seorang kepala daerah yang notabene sebagai pemangku jabatan publik, berani menjamin dan mempertaruhkan reputasi dan nama baiknya menyangkut persoalan hukum pribadi seseorang dalam perkara pidana penganiayaan.
\"Sekarang ada tidak pejabat daerah yang terkena kasus hukum, apakah kepala daerah memberikan jaminan? Padahal jelas beliau atasannya. Nah ini kenapa berani menjamin terdakwa yang tersangkut persoalan pidana pribadi dengan alasan yang menurut saya subjektif,\" ujar Djarkasih.
Alasan yang dijadikan dasar untuk menjamin perubahan status Donny, kata Djarkasih, karena yang bersangkutan merupakan seorang ahli dalam penanganan Covid di Wilayah III, merupakan kepala lab FK UGJ. Padahal, alasan itu, perlu diuji kebenarannya.
Pasalnya, dari data yang dimilikinya, orang yang ahli di dalam penanggulangan Covid-19, telah tertuang di dalam Keputusan Walikota Cirebon Nomor: 443.05/Kep.86-PEM/2021 Tentang Pembentukan Komite Kebijakan, Satuan Tugas Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Satuan Tugas Pemulihan Ekonomi Daerah Di Kota Cirebon, pada Lampiran 1 Susunan Personalia dan Tugas Komite Kebijakan disebutkan, siapa saja yang termasuk tim ahli, dan tidak ada nama Donny Nauphar di sana.
\"Maka dari itu, kami mengajukan permohonan salinan penetapan pengalihan status tahanan. Kita layangkan tanggal 28 Juni. Sampai saat ini belum ada balasan dari pengadilan. Kami ingin memastikan penjamin, apa pertimbangan hakim, kenapa dikabulkan?\" jelas Djarkasih.
Ditegaskan Djarkasih, persoalan yang menimpa terdakwa adalah murni persoalan pribadi antara terdakwa dengan kliennya sebagai korban. Tidak ada kaitannya dengan tugas dan wewenang kepala daerah. Djarkasih menganggap, penjaminan tersebut seakan mendiskriminasikan pihak korban.
Belum lagi, kata dia, dalam pasal 76 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, kepala daerah dilarang untuk membuat kebijakan yang merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
\"Hal ini telah mendiskriminasikan dan merugikan kami sebagai Pelapor. Sehingga hal ini perlu kiranya ada upaya dan langkah-langkah hukum ke depan. Penjaminan ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan atau keputusannya sebagai seorang kepala daerah yang akan selalu melekat di mata masyarakat. Tidak elok lah,\" tegas Djarkasih.
Saat ini, proses hukum sedang berjalan, ditambahkan Djarkasih, dengan semua kejanggalan yang ada, mulai dari jadwal sidang pertama yang tidak diumumkan, sampai dalam perjalanannya ada beberapa kepala daerah ikut serta memberikan penjaminan, itu akan menjadi catatan pihaknya.
\"Proses hukum sudah berjalan. Kita akan terus monitoring, karena di persidangan, kepentingan kita sebagai korban sudah diwakili oleh JPU. Dan kami ingin majelis bisa memutus perkara ini seadil-adilnya,\" imbuh Djarkasih. (sep)