RAKYATCIREBON.ID-Pengaruh budaya Tionghoa pada kehidupan di bumi Nusantara telah dirasakan sejak abad ke-13 dan semakin berkembang hingga orang-orang Tionghoa mulai membuat batik pada awal abad ke-19.
Pengaruh Tionghoa pada zaman tersebut memengaruhi corak dan ragam motif batik yang melahirkan perpaduan karya seni batik oriental dan Nusantara yang sangat indah.
Akulturasi budaya sejak ratusan tahun lalu dan terus berkembang sampai saat ini makin terasa seiring semakin dibukanya peluang masyarakat peranakan Tionghoa untuk mengekspresikan budayanya.
Batik pesisir tak lepas dari kedatangan orang China ke Pulau Jawa, 1000 tahun lalu, pada abad ke-12 dan ke-13. Yang datang adalah para lelaki tanpa (membawa) istri.
Mereka kemudian menikah dengan perempuan setempat, sehingga keturunannya “menjadi Jawa” dan “China peranakan”.
Kaum perempuan China peranakan mengadopsi pakaian ibu mereka, yakni kain batik dan kebaya. Berikutnya, masyarakat keturunan China mengenakan batik yang bukan betul-betul dari China, melainkan batik setempat.
Awalnya kain batik yang dipakai merupakan buatan rakyat lokal. Selanjutnya mereka mengupah perajin untuk membuat batik dengan motif yang mereka tentukan, yang diambil dari motif sulaman sutera, porselin, atau furniture China.
Tokwi (kain altar) tadinya dibuat hanya dari sulaman China. Namun ketika akulturasi muncul, tokwi juga dibuat dari batik. Selain itu, batik pesisir juga dijadikan tutup nampan hantaran, gordidjn dan muili untuk pengantin, taplak meja, runner/looper, hingga hadiah ulang tahun perkawinan emas.