RAKYATCIREBON.ID-Mertasinga telah diberkahi, tak hanya oleh kekayaan semangat kebudayaan dan kemasyarakatan, tetapi juga oleh sejarah panjang perkembangan gagasan yang cemerlang. Masa itu, Cheng Hwa adalah admiral laksamana dari masa kekaisaran Yuro yang melakukan ekspedisi dari Kaisar Yuro dari ujung timur ke barat. Kemudian, Cheng Hwa pun melakukan ekspedisi sebanyak 6 kali di Sumatera dan Jawa yang kemudian datang ke Cirebon pada tahun 1406. Diketahui, bila Cheng Hwa melakukan ekspedisi sejak 1405-1433 dan Cheng Hwa dianggapnya sangat istimewa karena sebagai seorang muslim.
Tahun 1406, Cheng Hwa berlabuh di Muara Jati dan pada saat itu yang sedang berkuasa yakni Kerajaan Singhapura sebagai kerajaan daerah dari Kerajaan Galuh dibawah kepemimpinan Prabu Watu Kencana sebagai raja besar dari Galuh. Dan hubungan antara Kerajaan Galuh dengan Singhapura karena keturunan kerajaan Galuh menikah dengan keturunan Ki Gendeng Jumanjan Jati.
Saat itu, Kerajaan Singhapura, bagian dari rangkaian asal-usul Kesultanan Cirebon. Sisa peninggalan kerajaan, berupa Lawang Gede Si Blawong, yang sampai sekarang masih bisa di lihat di Desa Mertasinga, Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon.
Lawang Gede, bukti peninggalan sejarah berdirinya kerajaan Singhapura di masa lalu. Konon, beberapa abdi dalem keraton Cirebon pada awal abad ke– 17, merasa tidak nyaman tinggal di dalam Istana, karena dominasi pemerintah Kolonial Belanda. Oleh karena itu, beberapa pangeran yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda, termasuk di antaranya Pangeran Suryanegara lebih memilih meninggalkan keraton.
Pangeran Suryanegara memimpin perlawanan rakyat terhadap kolonialisme Belanda yang memicu terjadinya perang Kedongdong(1753-1773). Perang Kedongdong sendiri, seperti yang dituturkan Kartani, terjadi akibat pertentangan yang terjadi antar abdi dalam istana yang di adu-domba kolonialis.Kedongdong sendiri merupakan pengibaratan buah kedongdong yang bagus di luar tapi ruwed di dalamnya.
“Sejarah adalah pondasi kita. Eyang buyut saya adalah penguasa di wilayah kerajaan Singapura (Desa Mertasinga. red),” ujar Raden Udin Kaenudin Camat Pasaleman, Kabupaten Cirebon, saat ditemui Harian Rakyat Cirebon di Balai Keratuan Mertasinga, Jumat malam (7/8), yang dipenuhi ukiran kayu berciri khas Cirebon.
Pria kelahiran tahun 1965 ini, adalah anak dari pasangan Raden Suchri Permadi Hidayat dan Ratu Aminah binti Pangeran Sair Gani. Cung Udin, panggilan di masa kesilnya, dengan kumis tebal ala Pak Raden memang membuat sejumlah terobosan untuk Cirebon yang dicintainya. Meskipun tidak mudah, upaya gigih terus diupayakan dengan memperkenalkan sejarah Kerajaan Singapura. “Kita minta kepada pemerintah agar ada pengakuan bahwa Mertasinga adalah betul-betul dulu adalah sebuah Kerajaan Singapura,” tegasnya.
Tidak heran jika kerap mendapati Udin Kaenudin bersemangat dalam mencintai Mertasinga. Sepanjang hidupnya, segala peristiwa pada masa lalu, bagi Udin, tidak terkubur oleh masa kini dan masa yang akan datang. “Jika tak kenal sejarah, tak akan kenal diri,” ungkapnya.
Kepada Harian Rakyat Cirebon, Udin menceritakan tentang ihwal kelahirannya yang telah dinantikan Raden Yutara, atau dikenal dengan nama Buyut Luwung sebelum meninggal. “Buyut saya mengatakan ikhlas meninggalkan dunia ini, apabila bayi yang lahir dalam kandungan itu lahir, adalah laki-laki. Saya dinanti-nantikan seperti itu,” ungkap ayah dari Raden Dewi Kamelina dan Raden Muhammad Fajri Fantara Surakusuma itu.
Tatapannya menerawang tajam seolah bersaing dengan dua warisan pusaka leluhurnya, keris dan pedang. “Saat usia saya muda, ayah saya berpesan jadilah orang yang berani dalam menegakkan kebenaran sambil memberikan sebilah pedang,” ujarnya dengan memperlihatkan pedang yang diduga peninggalan pusaka pada masa perang Kedondong.
Ada kisah yang lucu, tambah Udin, pedang ini adalah mahar pernikahan saya. ”Saat itu, saya tidak memiliki apa-apa selain pedang. Bagi saya, pedang memiliki sifat melindungi. Jangan mempermainkan pedang. Oleh karenanya, harus dijaga bagi pewarisnya kelak,” ungkap pria saat mempersunting istri tercinta, seorang bidan, Nurtesin.
Menurutnya, manusia terbaik adalah yang memberi manfaat untuk masyarakatnya. Luangkanlah ketulusan dan kejujuran seperti sifat pedang. “Jadilah berani asal benar,” tutur pria yang gemar wayang ini.
Saat disinggung, polemik perebutan tahta Sultan Keraton Kasepuhan yang kembali mencuat, Udin mengaku prihatin atas terjadinya perebutan takhta Sultan Sepuh di antara keluarga Kesultanan Cirebon.
Berikut petikan wawancaranya.
Lima tahun lalu, Anda menggagas menyatukan keluarga keturunan Sunan Gunung Jati dan keluarga Perang Kedondong, bisa Anda jelaskan?