PASCA wafatnya Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat, polemik di Keraton Kasepuhan masih mengemuka. “Saya memandang bahwa polemik ini sebetulnya tidak harus terjadi ketika para pihak yang berpolemik bisa saling mengedepankan sikap saling percaya, saling bertabayyun dan tidak menempatkan sejarah peteng sebagai catatan atau lembaran sejarah luka-luka lama yang ditutup-tutupi, tapi menjadikannya sebagai ibrah dan pembuka hikmah bagi upaya restorasi dan rekonsiliasi membangun persaudaraan dan ukhuwah di keraton Kesepuhan, dan ini butuh pendekatan secara dewasa, jujur dan saling menghormati,” ungkap Komunitas Amparanjati Cirebon, Akbarudin Sucipto kepada Harian Rakyat Cirebon, Kamis (17/9).
Menurutnya, Cirebon mempunyai metodologi dan sistem sendiri untuk kebutuhan mencatat, mendokumentasikan, menyimpan, mengklasifikasikan dan atau mewartakan informasi sejarahnya. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengklasifikasian informasi sejarahnya yang berbeda-beda seperti sejarah rante, sejarah kawedar, naskah carang, naskah babad dengan beragam versinya dan informasi yang dikenal dengan sejarah peteng.
“Sejarah peteng adalah salah satu metodologi yang dilakukan oleh Para Sepuh di Cirebon untuk menyimpan catatan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dan menjadi rahasia negara dan butuh proses uji konsekuensi jika akan membukannya, hal ini pada konteks sekarang sama halnya dengan perlakuan yang ada dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik tentang Informasi yang dikecualikan.
“Sejarah peteng pun bisa merupakan informasi yg dirahasiakan karena isinya adalah khazanah kearifan lokal Cirebon yang ditulis dengan code dan lambing-lambangtertentu yang tidak bisa secara sembarang ditafsirkan oleh sembarang orang juga. Sejarah peteng jangan dianggap sebagai kumpulan catatan luka-luka lama pemicu prahara, polemik dan ajang balas dendam ketika dibaca. Sejarah peteng harus ditempatkan sebagai media muhasabah untuk mendapatkan ibrah dan hikmah demi menjaga silaturakhim dan bangunan persaudaraan abadi antar dan sesama putra wayah secara tulus, ikhlas, setara dan saling menghargai, “jelas Akbarudin.
Lebih lanjut, Pendiri Gotrasawala Forum ini menambahkan sejarah peteng tidak ada yang membuat ataupun merekonstruksi. Ini secara alami terkonstruksi dan terbangun dari sebuah kesadaran keimanan yang merujuk pada petuah dan petatah-petitih Sunan Gunung Jati dalam melakukan kontrol dan pengelolaan informasi yang bersumber dari aktifitas negara atau keraton pada masa itu, hubungan relasi keluarga, kanuragan, pangaweruh Cerbon, agama, gaman dan tosan aji.
“Kisruh atau polemik yang terjadi di keraton Kesepuhan sekarang adalah buah dari sikap \"mengalah\" dan \"kepatuhan\" secara kurang proporsional dengan menempatkan dawuh poro sepuh hanya pada konteks \"aja gawe rusia\" atau \"ana rusia aja dibuka\". Kata rusia yang dimaknai sebagai hal buruk atau aib, akhirnya digeneralisir hingga menyentuh pula pada persoalan terganggunya cara berelasi antar keluarga hingga melahirkan miskomunikasi bahkan sampai terjadi gap komunikasi. Dari sinilah konten informasi yang serba katanya atau \"jare\" menjadi Panglima sehingga prasangka buruk dan fitnah menjadi komoditi utama. Dalam perspektif agama akhirnya terjadi persoalan ketika diduga ada perkara \"Hak Adami\" yang terlambat diselesaikan,” ungkapnya.
Polemik ini cepat selesai, kata dia, dengan cara dewasa atau dalam perspektif Cirebon, ada keberanian, kemauan, ketulusan untuk \"Ngobrol Tua\" yang dibarengi kesadaran. \"Masa sih sama-sama Putra Wayah tidak bisa bermusyawarah\", ujarnya.
Cirebon ada, astananya masih bisa diziarahi, masjid agungnya masih bisa untuk itikaf, keratonnya masih bisa menjadi bukti nyata dinamika perjalanan sejarahnya, seni tradisi dan beragam kearifannya pun masih bisa dinikmati, pesantren-pesantren tua pun tetap dalam posisi menjaga dan mengawal Cirebon. Semua lahir dari bagaimana poro sepuh di Cirebon dulu pandai memilih sikap ketika tahta dan gelar bangsawan akhirnya tidak mengganggu upaya membangun persaudaraan abadi sesama putra wayah Sunan Gunung Jati walaupun pernah berbeda pendapat dan saling berhadapan di medan pertempuran sebagai sama-sama korban penjajahan.
“Semua harus menyadari bahwa \"Guru, Ratu, Wongatua karo\" (Sunan Gunung Jati. red).
Derajatnya Guru, Ratu atau Pemimpin adalah sama dengan Orang Tua kita, jadi kenapa harus ribut, berpolemik dan saling memperebutkan,” pungkasnya. (wb)