RAKYATCIREBON.ID-Terpidana kasus suap pedangdut Saipul Jamil, Rohadi, kembali menagih janji anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Sebagaimana sempat ramai diberitakan di sejumlah media tahun lalu bahwa Komisi III DPR RI akan ikut mendorong agar kasus ketidakadilan hukum yang dihadapi mantan penitera PN Jakarta Selatan tersebut diselesaikan dengan tuntas
Melalui pesan tertulis yang dikirimkannya ke beberapa media tanah air, Rohadi menjelaskan, sebagai anggota dari lembaga perwakilan rakyat sudah semestinya para anggota dewan memperhatikan keluhan yang disampaikan rakyat kepada mereka. Termasuk pengaduannya kepada DPR atas ketidakadilan hukum yang dia alami.
Menurut pria yang kini sudah memaski tahun keempat sebagai penghuni Lapas Kelas 1 Sukamiskin Bandung ini, dia merasa dijadikan tumbal sendirian dalam kasus suap Saipul Jamil. Sebab dia hanya penghubung antara Ketua Majelis Hakim yang menyidang perkara pelecehan sexual pedangdut kondang itu dan pengacaranya, tapi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dia dijadikan pelaku utama tindak pidana korupsi itu. Sehingga dia dijerat dengan Undang-Undang Tipikor Pasal 12 huruf a.
\"Pasal yang dikenakan ke saya mestinya dikenakan kepada orang yang memiliki wewenang secara hukum untuk menentukan berat ringannya hukuman untuk terdakwa Saipul Jamil,\" katanya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Kamis (23/1).
Padahal dirinya hanyalah penghubung antara ketua majelis hakim Ifa Sudewi dan pengacara Saipul Jamil, Bertha Natalia. Dirinya bahkan bukan panitera yang bertugas dalam kasus itu. Tapi vonis tujuh tahun penjara telah dijatuhkan terhadapnya, berdasarkan ketentuan Pasal 12 huruf a itu. Sementara para hakim yang terlibat dan telah menikmati uang suap itu sampai saat ini tetap lolos dari jerat hukum.
\"Ini tidak adil. Karena itu saya sudah berulang kali menegaskan bahwa saya bukan pelaku utama kasus suap ini. Saya bukan hakim yang punya wewenang menentukan berat ringannya hukuman Saipul Jamil. Sehingga saya tidak terima dijerat dengan Pasal 12 huruf a itu,\" ungkap Rohadi.
Karenanya, untuk mengungkap secara terang benderang duduk perkara kasus itu, dia sempat menulis sebuah buku berjudul: \"Menguak Praktek MAFIA HUKUM Dibalik Vonis Pedangdut Saipul Jamil\". Yang isinya sempat diulas oleh berbagai media. Bahkan sempat viral di kalangan pengguna sosial media.
Selanjutnya, guna mendapatkan keadilan secara hukum, Rohadi kemudian mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) kasusnya melalui Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Sidang terakhirnya sudah dilangsungkan 14 November lalu. Agar vonis tujuh tahun penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan Tipikor di PN Jakarta Pusat sebelumnya ditinjau kembali oleh Mahkamah Agung (MA). Karena putusan itu tidak sesuai dengan bobot kesalahannya.
Meski demikian, menurut bapak dua anak ini, keadilan itu memang sangat sulit bisa dia dapatkan. Sehingga berbarengan dengan pengajuan PK itu dia pun melayangkan surat pengaduan kepada DPR RI. Dan surat yang dia layangkan kepada DPR RI tertanggal 23 Mei 2019 mendapatkan balasan tanggal 19 September 2019. Dalam surat balasan itu dijelaskan bahwa pengaduannya telah diterima dan telah diserahkan kepada pimpinan Komisi III DPR RI untuk ditindaklanjuti.
Karenanya, ungkap Rohadi, dia sangat berharap agar DPR dapat mendorong dibukanya kasus ini secara terang benderang. Apalagi Rohadi telah mendapatkan jaminan dari Wakil Ketua MPR Arsul Sani, ketika bicara dengan kuasa hukum Rohadi dari Yanto Irianto SH & Partners, yang menemuinya secara khusus beberapa waktu lalu.
Dalam kesempatan itu, Arsul Sani menjanjikan akan ikut mendorong DPR untuk memperhatikan kasus ini. Agar persoalan keadilan hukum yang dialami Rohadi ini dapat diatasi dan tidak menimpa Rohadi-Rohadi lain sesudah ini.
\"Karena itu, sekarang saya menagih janji anggota dewan yang terhormat, agar mereka memperhatikan kasus saya ini dan mendorong Komisi III DPR RI untuk membahasnya,\" ujar Rohadi.
Rohadi mengatakan, dia sangat berharap DPR RI, khususnya Komisi III, segera memanggilnya untuk menjelaskan duduk perkara kasus ini secara terang benderang. Apalagi mengingat putusan PK dari majelis hakim di MA juga belum jelas hitam putihnya sampai sekarang. Kalau berkas perkara PK itu dibiarkan mangkrak di PN Jakarta Pusat, tentu itu merupakan tindakan penganiayaan terhadap dirinya sebagai terpidana yang tidak mendapatkan hukuman secara adil. (*)