RAKYATCIREBON.ID-Mantan Panitera Pengganti (PP) Pengadilan Negeri Jakarta Utara (Jakut) Rohadi yang kini mendekam di Lapas Sukamiskin, Bandung bersuara dan menguak dugaan praktik mafia hukum di balik vonis pedangdut Saipul Jamil.
Sebagaimana diketahui, Rohadi dijatuhi vonis yang lebih tinggi dari pelaku utama dalam kasus tersebut. Yang lebih mengherankan lagi, para hakim yang terlibat dalam kasus Saiful Jamil tidak ada satupun yang terjaring oleh hukum.
Buku ini mengungkapkan bagaimana seorang pengacara dalam kasus Saiful Jamil, yakni Berthanatalia Ruruk Kariman melakukan tindakan berlawanan dengan hukum untuk membela kliennya.
Perjalanan Berthanatalia dalam mempengaruhi jaksa penuntut umum maupun majelis hakim, dipaparkan oleh Rohadi dalam bukunya ini.
Dalam bukunya ini, Rohadi menceritakan bagaimana awal dari pertemuannya dengan Berthanatalia dan bagaimana sepak terjang Berthanatalia dalam mengupayakan pengurangan vonis untuk kliennya Saiful Jamil.
Rohadi yang ditugasi pimpinan menjadi pencari dana untuk kegiatan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara, diminta membantu oleh Berthanatalia, yang adalah istri dari Hakim Karel Tuppu.
Rohadi yang sama sekali tidak memiliki kewenangan dalam kasus Saiful Jamil, waktu itu menyarankan untuk memilih hakim saja.
Ternyata berawal dari obrolan ini, Rohadi akhirnya menjadi terpidana berdasarkan kasus UU Tipikor Pasal 12 huruf a, yang menyebabkan dirinya menerima vonis tujuh tahun penjara.
Rohadi yang awalnya meyakini akan tetap dilindungi oleh orang-orang yang selama ini dilindunginya ternyata mendapatkan kenyataan pahit. Pesan Karel Tuppu, yang memintanya agar tidak membawa-bawa hakim dan dipatuhinya ternyata tidak mampu menyelamatkannya dari vonis atas dasar pasal 12 huruf a.
“Lewat buku ini, saya ingin publik tahu kasus yang menjerat saya ini. Mulai dari modusnya hingga nama-nama yang terlibat. Dan, semoga hukum bisa tegak, termasuk kepada para hakim dan penegak hukum lainnya,” ungkapnya.
Mantan Panitera Pengadilan Jakarta Pusat, Rohadi menuangkan pengalaman pahit yang dialaminya melalui buku bertajuk Menguak Praktik Mafia Hukum di Balik Vonis Kasus Pedangdut Saipul Jamil .
“Sebagai bagian dari subyek dan obyek ‘sejarah hitam’ peradilan di Indonesia, saya menulis buku ini sebagai bentuk penyesalan, pertaubatan, juga permohonan maaf saya kepada seluruh masyarakat Indonesia, atas segala prilaku saya dalam dunia hukum – khususnya dalam kasus Saipul Jamil,” begitu antara lain dia menulis dalam Muqaddimah buku setebal 119 halaman itu.
“Namun saya juga berharap lembaga-lembaga peradilan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pengawas Kejaksaan, hingga lembaga pengawasan hakim dan hukum yang ada di Mahkamah Agung (MA) serta Komisi III DPR RI yang memang membidangi masalah hukum dan HAM, bisa lebih proaktif dalam melakukan pengawasan, bahkan investigasi,” tulisnya lebih lanjut.
Sebagai panitera, di dalam bukunya bapak dari tiga anak lelaki itu menceritakan secara blak-blakan perannya sebagai bagian dari mafia peradilan. Dia bahkan terus-terang mengakui memiliki peran yang sangat penting selama malang melintang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara. Karena perannya selama ini, di antaranya, dia bahkan dikenal sebagai pencari dana untuk kegiatan-kegiatan yang non-budgetter di kantor. Karena dia dianggap paling lincah dalam menggalang dana. Misalnya, untuk menghadiri undangan penganten di luar kota di mana semua orang diharapkan hadir. Untuk mencarter bus, membeli tiket kereta api, tiket pesawat, hotel dan sebagainya.
Dalam bahasanya sendiri, Rohadi menulis, “Saya dianggap sebagai orang yang mau berkorban untuk kantor dari segi tenaga, pikiran, juga finansial. Bahkan mereka menganggap saya selalu siap dengan dana jika dibutuhkan oleh rekan-rekan kantor.”