TAMPIL. Sejumlah narasumber mengisi kegiatan Semarak Akbar 2019 bertema Manunggal Ing Kawula Gusti yang digelar Jurusan SPI FUAD IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Jumat (1/11) malam. |
RAKYATCIREBON.CO.ID - Budayawan Dr Ngatawi Al Zastrow tampil sepanggung dengan Prof Dr KH Abdul Syakur Yasin MA, Pengasuh Ponpes Cadangpinggan Indramayu dalam Semarak Akbar 2019 yang digelar Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah (FUAD) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon di halaman FUAD. Jumat (1/11) malam.
Zastrow mengatakan, tema yang diusung dalam kegiatan tersebut, yaitu Manunggal Ing Kawula Gusti. Sebuah tema yang tidak biasa dikaji oleh jurusan SPI. Sehingga, dia menilai, kegiatan ini adalah sebuah loncatan yang sangat luar biasa.
“Satu catatan saya, saya merasa bangga pada acara malam hari ini, temanya sangat menarik,” kata Zastrow.
Pasalnya, menurut dia, tema tersebut biasanya dikaji oleh kelompok antropologi terkait sistim kepercayaan masyarakat adat kejawen dan Jurusan Filsafat yang ada di FUAD.
“Sejauh pengetahuan saya, tema Manunggal Ing Kawula Gusti biasanya dikaji oleh kelompok antropolog terkait sistim kepercayaan masyarakat adat kejawen. Yang kedua, jurusan filsafat di fakultas ushuludin. Nah malam ini, jurusan SPI mengkaji Manunggal Ing Kawula Gusti, ini loncatan yang sangat luar biasa,” ungkapnya.
Sehingga, kata Zastrow, Manunggal Ing Kawula Gusti dapat disimpulkan adalah sebuah konstruktif sistem kebudayaan yang melekat di nusantara, terutama untuk masyarakat Jawa.
“Karena bayangan saya ini mengandaikan, bahwa persoalan Manunggal Ing Kawula Gusti bukan semata-mata persoalan antropologis sistem kepercayaan, bukan semata-mata sistem filosofis mistisme dan sufistik. Tapi, Manunggal Ing Kawula Gusti adalah konstruktif sistem kebudayaan yang menjadi lagu hidup bangsa nusantara terutama masyarakat Jawa,” ucapnya.
Sementara itu, Pengasuh Pondok Pesantren Cadangpinggan Indramayu, Buya Syakur yang juga diundang dalam acara tersebut sebagai salahsatu narasumber mengatakan, Manunggal Ing Kawula Gusti adalah ajaran Syekh Siti Jenar di masyarakat.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya tersebut. Akan tetapi, sebagian yang lain menganggapnya sebagaia seorang intelektual yang telah memperoleh esensi Islam itu sendiri. Namun, terdapat banyak variasi cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar. Sehingga hal itu memunculkan pertanyaan besar, apakah Syekh Siti Jenar ini ada atau tidak, atau hanya tokoh imajiner saja.
“Manunggal Ing Kawula Gusti atau istilahnya wahdatul wujud atau fandaisme sehingga banyak dianggap sesat oleh sebagian. Namun ada pula yang menganggapnya sebagai tokoh intelektual, termasuk saya menganggapnya sebagai tokoh intelektual yang telah mendapatkan esensi Islam,” jelasnya
Ajaran Syekh Siti Jenar, Buya Syakur mengungkapkan, tertuang dalam karya sastranya yang disebut pupuh yang mengajarkan budi pekerti. Dia mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariat yang dilakukan oleh Walisongo.
“Dalam karya sastranya disebut pupuh yang berisi budi pekerti, ajarannya dianggap bertentangan dengan ajaran walisongo yang terletak pada pemahaman aspek moral ketentuan syariat yang ditentukan oleh walisongo. Ajaran yang paling kontroversial adalah tentang hidup dan mati. Kedua, adalah tuhan dan kebebasan. Dan ketiga, tempat berlakunya syariat. Itu tiga hal yang paling kontroversial dalam sejarah ini,” ungkapnya.
Dalam ajaran tersebut, lanjut Buya Syakur, kehidupan ini adalah kematian, sedangkan kematian adalah awal dari kehidupan yang hakiki. Namun, dalam kesempatan ini dirinya tidak untuk menyalahkan atau membenarkan Syekh Siti Jenar. Tetapi dia mencoba memaparkan bahwa perbedaan itu disebabkan karena sudut pandang yang berbeda.
“Saya melihat tiga persoalan ini tidak kontroversi. Ini yang coba saya jelaskan. Kasian juga orang udah mati masa dimusrik-musrikan terus. Tapi saya di sini bukan untuk menyalahkan atau membela Syekh Siti Jenar. Tapi saya akan coba paparkan kepada kita semuanya bahwa perbedaan itu disebabkan karena sudut pandang yang berbeda,” pungkasnya. (wan)