Oleh: Ardi Rosidin Abdullah
BERITA gembira datang khususnya bagi Saya saat media mengulas tentang keikutsertaan prajurit TNI Angkatan Darat di ajang Australian Army Skill at Arms Meeting (AASAM) yang diselenggarakan oleh Australian Defense Force di Victoria Australia.
Hal yang menggembirakan itu bukan semata-mata karena TNI AD menjadi bagian dari ajang ini, tetapi torehan hasil terbaik yang diraih Indonesia pada kegiatan yang diikuti juga oleh negara-negara maju di bidang persenjataan militer seperti Amerika Serikat, Jepang dan Inggris.
Serta negara tetangga Malaysia menjadikan prestasi ini layak memperoleh apresiasi besar dari rakyat Indonesia. Tidak terkecuali keberhasilan prajurit TNI AD dalam meraih gelar The best of the best dari cabang bergengsi duel menembak yang di final mempertemukannya dengan peserta dari tentara Australia.
Di tengah isu tentang masih terbatasnya alutsista yang selama ini digunakan oleh TNI atau rendahnya kepercayaan publik terhadap kemampuan PINDAD dalam memproduksi persenjataan ternyata kemampuan TNI baik secara individu maupun tim masih disegani oleh tentara negara-negara lain.
Sayangnya kegiatan yang berakhir pada 26 Mei 2017 tersebut seperti berlalu begitu saja tanpa banyak ulasan dan diketahui oleh masyarakat secara luas. Informasinya seperti tenggelam oleh hiruk pikuk perang komentar di media sosial yang mengarah pada sikap intoleran.
Kalah jauh dibandingkan dengan perbincangan tentang laga Piala Champions Eropa 2017 yang di partai puncak mempertemukan raksasa sepakbola Eropa asal Spanyol Real Madrid dan Juventus dari Italia.
Sejatinya setiap peristiwa yang terjadi bukan tanpa sebab atau motivasi. Seperti halnya prestasi yang diraih TNI AD dalam ajang AASAM bukanlah sebuah kebetulan semata. Hasil akhir dari Tim Indonesia pada ajang tersebut pasti diraih setelah melewati proses seksama yang mengkombinasikan beragam unsur baik strategi.
Phisik maupun mental serta keunggulan lainnya yang mungkin saja dibangun tidak semata-mata atas dasar kecanggihan teknologi, tetapi juga berbasiskan karakteristik lokal yang tidak dimiliki oleh tim dari negara lainnya.
Seperti halnya konsep tentang dasar falsafah negara Republik Indonesia yang pada era persiapan kemerdekaan melalui sidang BPUPKI dibahas dalam suasana kebangsaan yang begitu kuat dan sangat toleran. Kekuatan tersebut merupakan keunggulan yang bersumber dari karakteristik lokal yang memahami keberagaman bangsa sebagai suatu kekayaan.
Beragam ideologi dan faham negara yang begitu banyak tersaji tidak menyurutkan tekad para tokoh untuk menggali sendiri dasar filosofi negaranya dari bumi pertiwi sebagai kekayaan yang sejatinya telah dimiliki oleh bangsa ini sejak ratusan atau mungkin ribuan tahun lamanya.
Beberapa tokoh menyampaikan gagasannya terkait dasar falsafah negara, tidak terkecuali Bung Karno yang melalui pidatonya pada 1 Juni 1945 mengemukakan tentang dasar falsafah negara dengan nama Pancasila.
Melalui tim sembilan akhirnya perumusan tentang dasar falsafah negara tersebut dibahas lebih lanjut hingga pada tanggal 22 Juni 1945 hasilnya dituangkan dalam naskah Jakarta Charter atau Piagam Jakarta. Kembali karateristik lokal mengemuka sebagai jalan keluar atas dialektika yang terjadi antara kelompok nasionalis dan Islam, sehingga urutan sila-sila dalam Pancasila menjadi seperti yang ada pada saat ini.
Pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 kembali keunggulan yang bersumber dari karakteristik lokal mengemuka saat musyawarah menetapkan UUD sebagai konstitusi negara Republik Indonesia. Jakarta Charter menjadi pembukaan Undang Undang Dasar setelah melewati penghapusan beberapa kata pada sila Ketuhanan yang Maha Esa serta pasal yang terkait dengan syarat dan pemilihan presiden.
Proses yang dilakukan secara dewasa, toleran dan berorientasi pada persatuan dan kesatuan bangsa menjadi awal dari dibangunnya bangsa ini dalam satu ikatan negara.
Lantas bagaimana mungkin jika keunggulan karakteristik lokal yang selama ini mendasari kehidupan berbangsa di Indonesia, menghasilkan tradisi keagamaan yang khas dan bahkan menjadi jalan utama bagi situasi penting negara harus ditanggalkan dan digantikan oleh isme lain atau arus baru yang ditransformasikan secara senyap maupun terang-terangan oleh kepentingan lain melalui beragam media ?
Mengesampingkan karakter lokal berarti meletakan sebuah awal perubahan secara tidak bijaksana dan mengabaikan sejarah. Bagi negara Indonesia terlalu tinggi resiko yang harus ditanggung bangsa ini untuk melupakan sejarah perjuangannya, karena hal itu hanya akan mendudukan bangsa ini pada puncak tinggi yang rapuh dan berpotensi menjatuhkannya ke jurang, sekalipun jika hal itu diinisasi oleh penguasa.
Semoga seluruh komponen bangsa dan Tentara Nasional Indonesia yang lahir dan berasal dari rakyat Indonesia pada khususnya dapat merawat keutuhan dan kesatuan ini dalam bingkai ke-Bhinneka-an dan wajah ke-Indonesia-an dengan tidak mengabaikan keunggulan dari karakteristik lokalnya. (*)