MAJALENGKA - Warga Desa Tarikolot Kecamatan Palasah mengeluhkan adanya pungutan yang dilakukan oknum perangkat Desa dan petugas BPN Kabupaten Majalengka dalam program nasional agraria (Prona) atau biasa dikenal pembuatan sertifikasi tanah massal.
Salah seorang warga Desa Tarikolot, Tono mengatakan, penerima program sertifikat gratis malah dibebani biaya yang dipungut oleh perangkat desa yang besarnya bervariasi dari Rp150 ribu hingga Rp900 ribu. Dia memaparkan, untuk mengukur tanah dikenakan tarif Rp150 ribu per bidang.
Sedangkan ganti nama, pemilik tanah harus merogoh kocek sebesar Rp250 ribu, dan untuk sertifikat dikenakan biaya Rp900 ribu. \"Kalau peruntukannya jelas pasti kami tidak akan keberatan untuk membayar, tetapi ini malah tidak diberitahukan peruntukan biaya yang dipungut itu utuk keperluan apa,\" ujarnya.
Ia menambahkan, keluhan masyarakat ini muncul akibat tidak adanya transparansi biaya yang dipungut dalam pembuatan sertifikasi tanah secara massal tersebut. Seharusnya ada transparansi penggunaan dana yang telah dipungut oleh perangkat desa, agar masyarakat bisa memahami dan tidak mengeluh.
Sebab, kata dia, yang diketahui masyarakat dalam pengurusan sertifikat prona tidak ada tambahan biaya dalam artian pengurusannya gratis. \"Pungutan ini terjadi bukan saja di blok saya, tetapi di blok-blok yang lain juga ada pungutan biaya bagi masyarakat yang mengurus sertifikat prona,\" ujarnya. Ia mengharapkan, perangkat desa dan BPN memberikan kejelasan terkait pungutan tersebut, agar mereka tahu peruntukan dana tersebut.
Sementara itu, salah satu warga yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, terpaksa membayar untuk bisa mendapatkan sertifikat prona. \"Dari pada tidak mendapatkan sertifikat mendingan saya membayar, walau sebenarnya saya mempertanyakan peruntukan uang yang dipungut itu,\" ujarnya.
Ia menambahkan, jangankan Rp250 ribu, lebih dari nominal itu pun mereka siap membayar, yang penting dana yang dipungut dari masyarakat itu jelas kemana arahnya. Dirinya menilai, program sertifikat tanah tersebut tidak tepat sasaran. Lantaran banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan bagian terlebih dengan biaya minimal Rp150 ribu. Lebih jauh dirinya juga mengkritisi pembayaran yang harus dikeluarkan warga. Terlebih sasaran program tersebut selayaknya diperuntukan bagi masyarakat miskin.
“Banyak orang yang mampu masuk dalam program tersebut, saya berharap masyarakat miskin bisa ikut serta sebagaimana Prona itu diperuntukan. Kalaupun tetap harus dipungut, seharusnya jangan terlalu mahal. Masyarakat miskin mana mampu membayar, untuk makan saja sudah susah,” kesalnya.
Saat program tersebut digulirkan, dirinya juga tidak mengetahui informasi tersebut. Ia baru mengetahui tetangganya mendapatkan program tersebut. “Seharusnya program itu diinformasikan kepada masyarakat miskin, baik langsung atau melalui RT/RW,” harapnya.
Sampai berita ini ditulis, tidak ada pihak Desa yang bersedia dikonfirmasi. Sebab sudah dua hari ketika Rakcer ke balai desa setempat Kepala Desa tidak berada di kantornya.(hsn)