PERAN perempuan kerap dipandang sebelah mata. Padahal, banyak hal yang bisa dilakukan perempuan.
Untuk itu, Risma Dwi Pani, pegiat feminisme dari Central De Development Des Femmess (CDF) Cirebon, gencar lakukan kampanye keperempuanan.
“Hari ini para perempuan sebagian sudah sadar kalau dia penting untuk berkegiatan di luar rumah. Namun, sebagian lagi tidak,” ungkapnya kepada Rakcer, kemarin.
Salah satu yang membuat ruang gerak perempuan seperti dibatasi, menurut Risma, salah satunya adalah stigma bahwa perempuan identik dengan pekerjaan rumah. Padahal nyatanya, banyak pekerjaan laki-laki dilakakukan perempuan.
“Banyak stigma negatif dari masyarakat khususnya daerah aku, yang berpendapat perempuan gak usah sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga ngurus suami. Perempuan juga punya hak berkomunikasi di depan orang banyak dan punya hak untuk mengemukakan ide-ide,” lanjutnya.
Hanya saja, untuk saat ini, kata Risma, masih banyak yang menganggap bahwa leki-laki lebih bisa dalam berbagai bidang, termasuk kesempatan untuk berbicara di depan publik.
“Kesempatan yang membedakannya, laki-laki pendapatnya lebih sering didengar sedangkan perempuan cukup jarang,” katanya.
Untuk itu, menurut perempuan kelahiran Cirebon itu, perlu ada paradigma baru bagi kaum perempuan untuk mengubah anggapan banyak orang terkait dengan peran perempuan di tengah masyarakat.
“Penanaman pemikiran kritis sejak dini terhadap perempuan perlu agar mereka tidak terkungkung dengan stigma yang beredar, perempuan harus tetap berkarya dalam bidang apapun,” pungkasnya. (wan/mgg)
Untuk itu, Risma Dwi Pani, pegiat feminisme dari Central De Development Des Femmess (CDF) Cirebon, gencar lakukan kampanye keperempuanan.
“Hari ini para perempuan sebagian sudah sadar kalau dia penting untuk berkegiatan di luar rumah. Namun, sebagian lagi tidak,” ungkapnya kepada Rakcer, kemarin.
Salah satu yang membuat ruang gerak perempuan seperti dibatasi, menurut Risma, salah satunya adalah stigma bahwa perempuan identik dengan pekerjaan rumah. Padahal nyatanya, banyak pekerjaan laki-laki dilakakukan perempuan.
“Banyak stigma negatif dari masyarakat khususnya daerah aku, yang berpendapat perempuan gak usah sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga ngurus suami. Perempuan juga punya hak berkomunikasi di depan orang banyak dan punya hak untuk mengemukakan ide-ide,” lanjutnya.
Hanya saja, untuk saat ini, kata Risma, masih banyak yang menganggap bahwa leki-laki lebih bisa dalam berbagai bidang, termasuk kesempatan untuk berbicara di depan publik.
“Kesempatan yang membedakannya, laki-laki pendapatnya lebih sering didengar sedangkan perempuan cukup jarang,” katanya.
Untuk itu, menurut perempuan kelahiran Cirebon itu, perlu ada paradigma baru bagi kaum perempuan untuk mengubah anggapan banyak orang terkait dengan peran perempuan di tengah masyarakat.
“Penanaman pemikiran kritis sejak dini terhadap perempuan perlu agar mereka tidak terkungkung dengan stigma yang beredar, perempuan harus tetap berkarya dalam bidang apapun,” pungkasnya. (wan/mgg)