Guru dan Dosen Siap Turun Aksi, Protes Tunjangan Profesi Hilang dalam Draf RUU-Sisdiknas

Guru dan Dosen Siap Turun Aksi, Protes Tunjangan Profesi Hilang dalam Draf RUU-Sisdiknas

PENOLAKAN. PGRI Kota Cirebon menolak penghapusan pasal tunjangan profesi dalam draf RUU-Sisdiknas versi 22 Agustus. Mereka pun siap mengawal dengan turun aksi. FOTO: ASEP SAEPUL MIELAH/RAKYAT CIREBON --

RAKYATCIREBON.ID, CIREBON - Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Cirebon menolak tegas penghapusan pasal tentang tunjangan profesi guru, tunjangan daerah terpencil, tunjangan dosen, dan tunjangan kehormatan dosen.

Sebagaimana diketahui, penghapusan tersebut tertuang dalam draf Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang diterima oleh PGRI per 22 Agustus 2022.

Aturan penghapusan ditolak tegas oleh organisasi yang menjadi wadah para guru tersebut. Karena dinilai benar-benar mengingkari logika publik dan menafikan profesi guru dan dosen.

Wakil Ketua PGRI Kota Cirebon, Lilik Agus Darmawan mengatakan, di Kota Cirebon, PGRI bersama cabang di setiap kecamatan yang ada sudah menyatakan sikap, menolak tegas adanya RUU Sisdiknas yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan yang dikomandoi Nadiem Makarim. Terlebih di dalamnya ada beberapa pasal yang sangat tidak pro guru.

"Penghapusan pasal TPG secara rinci di RUU Sisdiknas tersebut, dinilai telah melukai rasa keadilan para pendidik," ungkapnya.

Lilik menilai, draf yang diterbitkan tanggal 22 Agustus tersebut terkesan dibahas tanpa melibatkan para pemangku kepentingan yang akan terlibat dalam RUU tersebut, jika nanti diundangkan.

"Pembahasan RUU Sisdiknas ini seharusnya masih membutuhkan kajian yang komprehensif, dialog terbuka melibatkan banyak pemangku kepentingan pendidikan. Termasuk organisasi profesi PGRI tidak perlu tergesa-gesa," lanjut dia.

Dijelaskan Lilik, guru dan dosen adalah profesi yang sudah mendapatkan gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Dalam menjalankan tugas keprofesiannya yang berat, guru dan dosen sangat berhak mendapatkan kesejahteraan berupa penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.

Maka dari itu, kata Lilik, PGRI Kota Cirebon, bahkan di semua daerah, meminta agar pasal 127 ayat 1-10, sebagaimana tertulis dalam draf RUU Sisdiknas versi April 2022, yang memuat tentang pemberian tunjangan profesi guru dan dosen, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, dan lainnya dikembalikan. Agar terakomodir dalam RUU Sisdiknas.

Ditambahkan Lilik, PGRI akan konsisten terus mengawal pembahasan RUU Sisdiknas, agar RUU yang seharusnya menjadi payung hukum perlindungan guru tersebut, bisa benar-benar pro terhadap guru. Bukan hanya dalam kewajiban, akan tetapi juga pro terhadap apa yang menjadi hak-haknya.

Bahkan, kata dia, seluruh guru maupun dosen di tingkat daerah siap menggelar aksi, demi mengawal RUU Sisdiknas agar bisa mengakomodir apa yang menjadi harapan guru Indonensia.

"Pemberian tunjangan profesi bagi guru dan dosen adalah sebuah keharusan bagi pemerintah sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan atas profesi guru dan dosen. PGRI akan terus konsisten memperjuangkan hak profesional yang melekat dalam diri guru dan dosen. Terkait hal itu (turun aksi, red), kami masih menunggu instruksi PB-PGRI," pungkas Lilik.

Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, Unifah Rosyidi menyoroti penghapusan aturan terkait TPG dalam RUU Sisdiknas. Unifah menuturkan, guru dan dosen adalah profesi. Sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan akan keprofesiannya, maka pemerintah memberikan TPG.

Menurutnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa masih banyak guru dan dosen, utamanya di sekolah-sekolah ataupun perguruan tinggi swasta yang belum mendapatkan gaji memadai, minimal memenuhi upah minimum provinsi/kabupaten/kota.

Dalam UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, jelas diamanahkan bahwa guru dan dosen berhak mendapatkan kesejahteraan berupa penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial dari pemerintah dan pemerintah daerah.

Terpisah, Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mewacanakan pembentukan Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) untuk mengakomodasi berbagai penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).

Menurutnya, banjir penolakan terhadap draf RUU Sisdiknas yang disusun oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) harus ditangkap sebagai kritik yang membangun.

Dia memandang, harus dibuka ruang dialog yang lebih transparan dalam penyusunan RUU Sisdiknas.

"Maka saya menginisiasi adanya Pokja Nasional RUU Sisdiknas ini," tandas Huda.

Bagi Syaiful, suara penolakan yang disampaikan berbagai elemen masyarakat sipil harus benar-benar didengar dan dipertimbangkan agar RUU Sisdiknas menjadi payung hukum yang menciptakan ekosistem pendidikan nasional yang sesuai dengan kepentingan bangsa.

Huda mengatakan, berbagai hal yang disorot ihwal konten atau materi RUU Sisdiknas juga harus dijawab secara seksama oleh pemerintah. Hal-hal itu antara lain terkait kekhawatiran akan kemunculan kastanisasi pendidikan dengan jalur baru persekolahan mandiri yang dilegitimasi di level UU, ketidakjelasan peran lembaga pendidikan tenaga kependidikan, hingga polemik penghapusan tunjangan profesi guru.

Menurutnya, kekhawatiran itu muncul karena dialog antara Kemendikbudristek dengan publik yang minim.

"Bisa jadi antara maksud perancang RUU Sisdiknas dengan publik ada gap yang memicu mispersepsi. Maka sekali lagi perlu ruang dialogis yang lebih luas," katanya. (sep)

Sumber: