Hak Guru Dianggap Makin Berkurang di RUU Sisdiknas

Hak Guru Dianggap Makin Berkurang di RUU Sisdiknas

--

RAKYATCIREBON.ID, JAKARTA - Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim mengatakan bahwa hak guru makin berkurang di dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional atau RUU Sisdiknas.

“Hak guru makin berkurang,” kata Satriwan Salim di Jakarta, Selasa (13/9).

Dia menambahkan dalam UU Guru dan Dosen, hak guru justru lebih lengkap, detil dan eksplisit. Menurutnya, pada UU Guru dan Dosen, hak guru diatur dalam enam pasal.

“Sementara di RUU Sisdiknas tidak ada satu pun pasal yang mengatur spesifik terkait tunjangan profesi guru,” ungkapnya Satriwan menilai pernyataan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) akan memberikan sertifikasi pada 1,6 juta guru, tidak tertuang dalam draf RUU Sisdiknas.

Dia menyatakan pihaknya hanya ingin ada payung hukum yang jelas, tertulis secara eksplisit disebutkan dalam RUU Sisdiknas tentang klausul tunjangan profesi, lengkap sebagaimana tertera dalam UU Guru dan Dosen, sebagai dasar dalam membuat kebijakan turunannya nanti.

“Ini demi asas kepastian hukum, sebab dasar hukum itu yang tertulis, bukan pernyataan,” katanya.

Satriwan mengatakan pemerintah seperti Kemendikbudristek memiliki tanggung jawab dan kewajiban tunjangan profesi guru sesuai Pasal 13 Ayat 1 UU Guru dan Dosen.

Pemerintah diberi tenggat waktu selama 10 tahun untuk menuntaskan seluruh guru agar memiliki sertifikat pendidik atau sejak 2005 hingga 2015.

“Namun, masih ada 1,6 juta guru yang belum disertifikasi,” katanya.

Mengapa bisa terjadi demikian, Satriwan mengatakan bahwa hal itu karena Kemendikbudristek memberikan syarat yang terlalu rumit dan sukar bagi guru untuk mengikuti program sertifikasi guru.

“Jadi, bukan salah UU Guru dan Dosen yang menyebabkan masih ada 1,6 juta guru yang belum disertifikasi dan belum menerima tunjangan, melainkan syarat Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang dibuat rumit oleh Kemendikbudristek," ujarnya.

Sejumlah syarat itu, di antaranya, kuota terbatas, wajib lulus pretest PPG, syarat yang bisa ikut pretest bagi guru non-ASN sekolah negeri yang jumlahnya lebih dari 700.000 guru.

Syarat guru non-ASN agar bisa mengikuti, yakni harus terdaftar di dapodik, memiliki NUPTK, SK pengangkatan dari kepala daerah/kepala dinas, dan status dapodiknya wajib honorer Tk I/II.

“Faktanya, status kepegawaian di dapodik honorer sekolah, meskipun sudah punya NUPTK. Status honorer sekolah ini ditolak sistem dari Kemendikbudristek," ucapnya.

Satriwan menyatakan jika ingin menyejahterakan guru, kenapa melimpahkan ke UU ASN bagi ASN, dan UU Ketenagakerjaan bagi guru swasta.

Kemudian, lanjut dia, mengatur tata kelola guru swasta di bawah UU Ketenagakerjaan / Cipta Kerja saja sudah keliru, terkesan pendekatannya yang sangat ekonomis industri.

“Ini sangat menyalahi filosofi pendidikan dan filosofi guru itu sendiri. Sebab, hubungan guru dengan yayasan bukan seperti relasi industri, seperti buruh dengan perusahaan pemberi kerja, melainkan relasi pedagogis dan budaya,” pungkas Satriwan. (jpnn/rakcer)

Sumber: