Penggilingan Padi Terpaksa Tutup Dulu, Harga Gabah Terlalu Tinggi

Penggilingan Padi Terpaksa Tutup Dulu, Harga Gabah Terlalu Tinggi

SEPI. Sejumlah penggilingan padi berhenti beroperasi karena harga gabah yang tinggi dan tidak seimbang dengan harga beras di pasaran. HASANUDIN/RAKYAT CIREBON--

RAKYATCIREBON.ID, MAJALENGKA - Sejumlah pemilik penggilingan padi di Kecamatan Jatitujuh, memilih berhenti beroperasi karena harga gabah yang terus melonjak tidak sebanding dengan harga penjualan beras. Akibatnya, sebagian pemilik penggilingan yang memiliki gabah memilih menjual gabah dan memperoleh laba dari harga gabah.

Surana, pemilik penggilingan gabah di Desa Sumber Kulon Kecamatan Jatitujuh mengungkapkan, harga gabah di wilayahnya saat ini telah mencapai Rp750.000 per kuintal. Sedangkan harga beras di tingkat penggilingan hanya Rp13.000 per kilogram. Jika dipaksakan menggiling dan menjualnya ke pasaran, pemilik penggilingan malah merugi besar.

“Di wilayah saya, gabah sudah mahal. Kalau di tempat lain, masih Rp700.000, daripada rugi mending berhenti operasi,” sebut Surana.

Menurutnya, jika harga gabah Rp750.000 per kuintal, setelah digiling hanya akan mendapatkan uang Rp780.000, karena harga beras Rp13.000 per kg. Perhitungan tersebut karena dari satu kuintal gabah bisa diperoleh sekira 60 kg beras, itupun jika kondisi gabah bagus.

Seringnya banyak gabah hampa serta kotor dengan sampah karena pengolahannya yang asal-asalan.

“Jika dari satu kuintal gabah bisa menghasilkan beras 60 kilo, itu sudah bagus. Paling bagus bisa mencapai 65 kilo, tapi seringnya hanya diperoleh sekitar 58 sampai 59 kilo jika petani yang memproses pembersihannya kurang baik, karena kondisi gabah bisa kotor banyak sampah,” sebutnya.

Menurut Rastia, untuk sementara dia berhenti memasok beras ke pedagang dengan risiko kehilangan pelanggan. Sejumlah penjual beras telah diputus dan baru akan dikirim kembali setelah ada pasokan gabah dengan harga yang wajar.

“Sekarang terkadang saya mencari beras dari pihak lain untuk memasok ke pedagang menjaga langganan, itupun pengirimannya kurang lancar bisa berminggu-minggu. Sebagian lagi diputus sementara karena barang tidak ada. Disiasati dengan pengiriman bergilir setiap dua minggu sekali, jumlah pengirimannya terbatas asal mengirim,” sebut Rastia yang berupaya mencari beras ke Cianjur dan Sukabumi.

Menurutnya, jika dipaksakan menggiling gabah dengan harga beli Rp750.000 per kuintal dan harga jual hanya Rp13.000 per kg, maka hanya akan memperoleh uang sebesar Rp780.000. Uang tersebut bukan pendapatan bersih karena harus dipakai membeli solar, ongkos kerja dua orang dengan upah masing-masing Rp100.000, belum lagi uang makan untuk pekerja.

“Masih mending kalau gilingannya banyak, kalau hanya lima sampai 6 ton. Masih siang pekerjaan sudah selesai sementara upah kerja tetap sama, pembelian solar juga tetap sama. Ongkos angkut untuk pengiriman beras juga demikian. Jadi kalau dihitung kerugiannya lebih besar,” kata Rastia.

Dia mengaku baru akan beroperasi lagi ketika di wilayahnya sudah memasuki musim panen, yang diperkirakan sekitar tiga minggu lagi. Setelah musim panen, diperkirakan gabah akan melimpah karena akan banyak petani yang menjual gabahnya begitu padi dipanen.

Petani di Jatitujuh punya kebiasaan begitu panen rendeng, semua gabah dijual hanya disisakan untuk makan selama belum musim panen kedua. Petani baru akan menyimpan gabahnya hasil panen MT II. Alasan tidak ada tempat penyimpanan serta sulit menjemur karena musim penghujan. (hsn)

Sumber: