Ada Potensi Sengketa Hasil Pilkada, Cirebon Kembali Berharap ke MK
PILKADA. Cirebon pernah dibuat kalangkabut imbas situasi politik daerah pada tiga putaran Pilkada di Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon. Krisis kepastian hukum saat itu hanya bisa diselesaikan di level MK. FOTO : SUWANDI/RAKYAT CIREBON--
RAKYATCIREBON.ID, CIREBON Mahkamah Konstitusi (MK) memegang peran penting dalam sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia. Bagi warga Cirebon, fungsi MK sebagai 'penjaga gawang' konstitusi dirasakan betul manfaatnya dalam kurun waktu 15 tahun terakhir.
Betapa tidak, Cirebon pernah dibuat kalangkabut imbas situasi politik daerah pada tiga putaran Pilkada di Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon. Krisis kepastian hukum saat itu hanya bisa diselesaikan di level MK.
Lalu, apa jadinya Cirebon jika MK tidak ada? Kaos saat Pilkada? Sudah pasti. Namun itu bisa ditangani Polisi dibantu unsur TNI. Dan, akan selesai seiring Pilkada selesai.
Yang lebih mengerikan, konflik akibat sengketa hasil Pilkada di Cirebon tak benar-benar selesai hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil pemilu. Justru berlanjut dan berlarut.
Kontestan saling mengklaim kemenangan. Yang kalah telak dengan hasil perolehan suara anjlok menuding yang menang melakukan kecurangan. Saling gugat pun terjadi.
KPU sebagai penyelenggara pemilu digugat lantaran dinilai membiarkan kecurangan saat proses Pemilu terjadi. Imbasnya hasil pemilu dianggap tidak sah. Kontestan yang kalah menuntut pemungutan suara ulang. Ketegangan terulang lagi.
Yang lebih memprihatinkan ketegangan imbas peristiwa politik ini tidak hanya di level elit, petinggi partai maupun kontestan Pilkada. Juga merasuk sampai ke basis pendukung di tingkat kampung.
Pengamat Politik Cirebon, Sutan Aji Nugraha membeberkan, sejak 2008, Pilkada di Cirebon selalu diwarnai gugatan. Saat itu, Pilkada Kabupaten Cirebon diikuti tiga paslon yakni Sunjaya Purwadi Sastra - Abdul Hayi (SAH), Dedi Supardi - Ason Sukasa (DESA) dan Djakaria Machmud - PRA Arief Natadinigrat (DAMAR).
Usai pengumuman hasil PIlkada oleh KPU Daerah Kabupaten Cirebon, paslon DAMAR mengajukan gugatan ke MK atas penetapan pasangan DESA sebagai pemenang Pilkada.
Paslon DAMAR menemukan sejumlah bukti yang menunjukkan Pilkada telah berjalan tidak adil. Seperti banyak pemilih tidak mencoblos, adanya pemilih mencoblos dua kali, serta intervensi sejumlah pihak untuk mempengaruhi pemilih.
Pada 2013, saling gugat antar kontestan Pilkada Kabupaten Cirebon kembali terjadi. Saat itu, Pilkada diikuti 6 paslon yakni Insyaf Supriadi dan Darusa (INDAH), Sunjaya Purwadi dan Tasiya Soemadi Al Gotas (JAGO JADI), Ason Sukasa dan Elang Kusnandar (SADAR), Sri Heviyana Supardi dan Rakhmat (HEBAT), Nurul Qomar dan Subhan (MARHABAN), dan Mohammad Luthfi dan Ratu Arimbi Nurtina.
Paslon JAGO JADI melayangkan gugatan ke MK atas penetapan hasil pemilu paslon bupati dan wakil bupati 2013 oleh KPU Kabupaten Cirebon. Sejatinya, perolehan suara JAGO JADI unggul dibanding dua paslon lainnya.
Paslon JAGO JADI meraih 239.040 atau 27,89 persen suara, HEBAT 173.519 atau 20,14 persen suara dan Luthfi-Arimbi 158.168 atau 18,45 persen suara. Paslon JAGO JADI menggugat supaya hasil tersebut ditetapkan sebagai hasil akhir Pilkada.
Sementara, Luhfi-Arimbi dalam gugatannya ke MK mengajukan keberatan atas keputusan Pilkada putaran kedua karena menilai adanya kemungkinan terjadinya politisasi birokrasi yang dapat dilakukan JAGO JADI maupun HEBAT.
Kemungkinan itu, mengingat calon wakil bupati, Tasiya Soemadi, merupakan Ketua DPRD Kabupaten Cirebon, sedangkan calon bupati Raden Sri Heviyana merupakan istri Bupati Cirebon saat itu, Dedi Supardi.
Pada Pilkada 2018, gugat menggugat hasil pemilu ke MK terjadi di Kota Cirebon. Saat itu, paslon Nashrudin Azis - Eti Herawati (PASTI) berhadapan dengan Bamunas S Boediman - Effendi Edo (OKE).
Paslon OKE mendaftarkan gugatan terkait dugaan pelanggaran Pilkada Kota Cirebon ke MK. Paslon OKE menuntut pemungutan suara ulang (PSU) di 24 TPS. Alasannya kotak suara di 24 TPS itu telah dibuka sebelum dilakukan penghitungan suara.
Polarisasi antar pendukung masing-masing paslon dalam Pilkada 2008 dan 2013 di Kabupaten Cirebon maupun Pilkada 2018 di Kota Cirebon tak terelakan sampai MK mengeluarkan ketetapan hukum yang diterima dan dipatuhi masing-masing pihak.
Aji menilai, jika berkaca dari fakta historis, potensi sengketa pada Pilkada 2024 di Kabupaten maupun Kota Cirebon juga masih tinggi. Sebab, mobilisaai mass pada helatan politik daerah di 'kota wali' ini cukup besar.
"Antusias masyarakat kita pada pesta politik yang sifatnya lokal itu besar ya. Apalagi pemilihan kepada daerah, mobilisasinya dilakukan di semua lini. Karena satu suara itu sangat berharga," katanya.
Guru Besar Hukum Tata negara dan Otonomi Daerah IAIN Cirebon, Prof Sugianto menjelaskan, selaras dengan fungsinya, MK memainkan peran vital dalam menjamin munculnya ketatapan hukum di Indonesia.
Bagi masyarakat Cirebon, MK tak sekedar 'benteng kokoh' konstitusi. Lebih dari itu eksistensi MK sepanjang 15 tahun terakhir telah memberi dampak sosial yang signifikan melalui ketetapan hukum terkait hasil Pilkada.
Menurut Sugianto, MK kini memasuki usia 20 tahun sejak didirikan pada tanggal 23 Agustus 2003. Momentum hari jadi MK tersebut beririsan dengan tahun politik 2023 menjelang 2024. Seiring bertambahnya usia MK, peran dan fungsinya sebagai penjaga gawang konstitusi tak tergantikan di republik ini.
Kewenangan MK untuk memutuskan berbagai persengketaan antar lembaga yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan biasa. Seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik.
Perkara-perkara tersebu berkaitan dengan hak dan kebebasan warga negara yang ingin berpartisipasi dalam sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD.
"Sebagai negara konstitusi, peran dan fungsi MK ini memang diamanahkan oleh undang-undang untuk menjadi temboknya konstitusi. Kita berharap banyak pada MK atas persoalan yang tidak bisa diselesaikan oleh di lembaga lain," pungkas Sugianto. (wan)
Sumber: