Runtuhnya Moral di Tangan Kaum Moralis
SUATU saat saya pernah mengikuti audisi penulisan buku untuk sebuah event besar bahkan dipercaya untuk mengedit naskah bukunya. Acara ini diadakan oleh sebuah forum yang akrab dengan dunia pendidikan. Panitianya juga cakep beragama bahkan sehari-hari hidup pada nuansa keagamaan.
Namun pada saat buku sudah terbit, saya cek isi buku lewat seorang teman yang dipercaya untuk memberi komentar dan mendapat jatah 1 eksamplar buku tersebut, malah tidak ada tulisan saya di dalam bukunya. Padahal dulu pada saat masih naskah berada di halaman awal-awal, tulisan ke-6.
Lebih naif lagi, nama saya yang mengedit hilang dan diganti sama nama lain yang dalam dunia kepenulisan tergolong baru dan saya kenal tidak aktif di dunia edit mengedit naskah. Padahal gaya bahasa bahkan seluruh isi buku adalah hasil editan saya. Orang yang biasa membaca tulisan saya paham betul seperti apa gaya bahasa saya dalam berkarya. Karena tidak bisa dibuat-buat.
Suatu ketika saya juga mengikuti audisi kepenulisan yang diadakan oleh sebuah partai politik. Temanya kepahlawanan dan kebijakan publik. Saya pun mengirim 2 tulisan berupa artikel yang diikutikan dalam audisi seperti yang disyaratkan panitia. Saya menulisnya serius dan benar-benar asli tulisan saya.
Belakangan saya menduga ini ada yang tak beres. Dugaan saya ternyata benar, bahwa yang mengadakan audisi ini adalah oknum partai politik yang kerap jual proposal kegiatan bertema kepenulisan. Sebab setelah saya cek, bukunya tidak diterbitkan. Dicetak hanya beberapa eksamplar bahkan tidak ber-ISBN.
Suatu saat saya juga dipercaya membuat naskah buku untuk sebuah Ormas. Ini mungkin oknum juga, sebab pada awal dipercaya saya minta surat resmi kerjasama tapi tidak dikasih juga. Namun karena dipercaya ya saya laksanakan. Saya pun membuat naskah bukunya hingga tuntas dan layak terbit.
Seperti dugaan saya, belakangan setelah naskah sudah jadi buku, file yang dari saya diterbitkan dan dibagi ke mana-mana, tapi jasa saya belum dibayar hingga saat ini. Ini sudah hampir 4 tahun. Karena memang sejak awal ada gelagat tidak normal, isi naskah digonta-ganti hampir setiap hari. Saya pun dibuat kelimpungan.
Lucunya, di kata pengantar buku disebutkan bahwa buku ini dibuat atas bantuan si A dan si B, bukan nama saya. Seakan-seakan yang buat naskah adalah si A dan si B. Padahal saya tahu betul bahwa si A dan si B tidak aktif di dunia kepenulisan bahkan sampai detik ini tidak punya karya tulis. Jangankan buku, artikel pun belum pernah menulis.
Saya juga pernah dipercaya membuat buku untuk sebuah lembaga. Saya menyusun kerangka naskah hingga pembuatan isi naskah. Setelah naskah tuntas, saya pun mengirim naskahnya kepada yang meminta. Setelah beberapa pekan saya pun bertanya perihal naskah buku ini. Dan saya pun mendapatkan jawaban yang membuat hati panas: naskahnya sudah disusun sama yang lain.
Saya tak mau cari masalah dan tidak mau ribet. Saya biarkan saja dan balas jasa daya tidak saya minta. Walaupun ada kesepakatan di awal bahwa saya bakal dapat sekian. Karena memang naskahnya benar-benar saya yang buat. Belakangan saya tahu bukunya sudah terbit, saya pun memesan bukunya lewat seorang teman yang mendapat kiriman buku itu.
Eh ternyata, editornya teman saya sendiri. Padahal teman ini dapat naskah dari saya pada saat berkunjung. Lucunya lagi, isi naskah sama persis dengan hasil editan saya. Cara penulisan pada paragraf pertama setiap tulisan pun sangat jelas. Begitu juga pada penutupan tulisan. Sama persis dengan hasil tulisan saya.
Pada saat saya bertanya si teman ini tentang naskah buku, si teman menjawab itu dari yang bikin event atau lembaga. Teman saya ini pun hanya membantu memperbaiki beberapa kesalahan penulisan kata atau diksi dan tanda baca. Karena memang naskah dari saya baru tahap 3, belum tahap 4. Si teman inilah yang dapat duit. Karena memang dia tahu bahwa naskah itu dari lembaga anu, bukan dari saya.
Masih banyak sebetulnya pengalaman saya dalam dunia kepenulisan terutama pada saat saya dipercaya untuk membuat dan mengedit naskah buku, termasuk pada saat mengikuti berbagai perlombaan atau audisi kepenulisan. Saya awalnya tidak mau bercerita tentang hal semacam ini, hanya saja karena ini sudah tak wajar dan melampaui batas, saya layak membukanya di ruang publik.
Saya sengaja tidak menyebut ormas, parpol, lembaga dan orang, demi menjaga hubungan baik dan etika publik. Toh kalau saya sebut juga hanya menambah keheboan dan malah nantinya merusak hubungan baik. Bagi saya itu tak perlu. Saya hanya berupaya mengingatkan saja dengan cara yang berbeda. Barangkali berdampak baik dan positif bagi mereka yang hendak memperbaiki diri termasuk saya sendiri.
Sumber: