Geger Setengah Abad Keraton Kasepuhan Cirebon Terulang Kembali
SIAPA yang tak mengenal Raden Rahardjo Djali, sosok yang menjadi perbincangan publik saat dinobatkan sebagai Polmah Kesultanan Kasepuhan Cirebon pada tanggal 6 Agustus 2020. Tudingan mengalir terhadap Rahardjo. Banyak yang tak percaya atas apa yang dilakukan Rahardjo. Fungsi polmah pun nampaknya tak berjalan. Hingga kini tak ada kelanjutannya.
Setelah tak ada kabar tentang kelanjutan polmah, Rahardjo muncul kembali dan mengungkapkan tentang fakta-fakta hukum terkait ahli waris yang sah atas penguasaan Keraton Kasepuhan Cirebon.
Bersama Harian Rakyat Cirebon, Kuasa hukum Rahardjo, Erdi Soemantri mengatakan babak awal sengketa penolakan itu dimulai sejak 1958. Saat itu, enam keturunan Sultan Sepuh XI menolak jabatan Sultan XII yang diserahkan kepada Alexander Radja Radjaningrat. Ada enam nama yang menggugat Alexander. Dua di antaranya yakni Ratu Mas Shopie Djohariah dan Ratu Mas Dolly Manawijah. Keduanya anak dari Sultan Sepuh XI saat menikahi Nji Mas Rukiah, yang wafat pada 1979.
Sekadar diketahui, Sultan Sepuh XI menikahi Nyi Mas Rukjah setelah istri pertamanya, yakni Raden Aju Radjapamerat wafat pada 1922.
Ratu Mas Dolly Manawijah dan Ratu Mas Shopie Djohariah menunjuk Erdi sebagai kuasa hukumnya untuk menyelesaikan sengketa tersebut, tepatnya pada 2001.
\"Mereka (Ratu Mas Shopie dan Dolly Manawijah) pihak yang berperkara langsung yang berhadapan di persidangan dengan Alexander Radja Radjaningrat,\" kata Erdi saat berbincang dengan Harian Rakyat Cirebon sambal memperlihatkan setumpuk dokumen penting di Kawasan Kartini Kota Cirebon, Jawa Barat, Selasa (1/9/2020).
Sekadar diketahui, berdasarkan kliping berita Harian Suara Merdeka edisi Selasa, 9 Juli 1957 berjudul ‘Sultan Kasepuhan Kontra Keluarga Keraton’ diungkapkan Alexander Radja Radjaningrat dilaporkan oleh keluarga keraton karena telah mengalihkan atau menyewakan tanah-tanah keraton sejak 1923. Dan, diakui oleh Alexander Radja Radjaningrat.
Disamping itu, setelah berita itu terbit, keluarga Keraton Kasepuhan yang menurut penuturan Sophie Djohariah, gugatan keperdataan kepada Alexander Radja Radjaningrat dimotori oleh Ratu Raja Wulung yaitu dari orang tua Elang Mas Upi Supriadi yang menghasilkan keputusan baik tingkat pertama maupun tingkat kasasi dimana terdapat hal-hal prinsip yaitu terkait dalil yang disampaikan oleh Alexander Radja Radjaningrat bahwa saya berkedudukan sekarang Sultan Sepuh Kasepuhan Cirebon dengan harkat pangkat Sultan Sepuh Radja Radjaningrat Sultan Kasepuhan Cirebon sesuai dengan adat lembaga asli adat istiadat tradisi Kasultanan Kasepuhan. Demikian saya Sultan Sepuh Radja Radjaningrat Sultan Kasepuhan hak dan hak berkuasa atas seluruh tanah Kesultanan Kasepuhan dan hal sesuatu isi Kesultanan Kasepuhan . Sesuai dengan adat lembaga adat-istiadat tradisi Kesultanan Kasepuhan. Hal ini dikutip dari apa yang tertera dalam putusan Nomor 82/1958/Pn.Tjn. Dimana dalam putusannya majelis hakim mengesampingkan apa yang didalilkan oleh Alexander Radja Radjaningrat yaitu mengesampingkan forum previlegiatum yang diajukan oleh tergugat mengabulkan tuntutan penggugat.
“Apa yang didalilkan oleh Alexander Radja Radjaningrat yang menyatakan dirinya sebagai sultan Kasepuhan dengan harkat pangkat Sultan Sepuh Radja Radjaningrat Sultan Kasepuhan Cirebon sesuai dengan adat lembaga asli adat istiadat tradisi Kasultanan Kasepuhan ditolak oleh majelis hakim atau dengan kata lain yang bersangkutan tidak diakui sebagai seorang sultan sebagaimana yang disampaikan. Hal ini mengingat yang bersangkutan menurut ibu Sophie telah melanggar undang-undang Mahkamah Republik Indonesia harus mengikuti undang-undang yang berlaku. Kalau boleh disimpulkan pertimbangan majelis hakim sampai dengan tingkat mahkamah agung pun sama. Mengingat pemahaman forum previlegiatum itu adalah hak seseorang yang mendapatkan peradilan khusus di negeri ini sebagaimana terdapat dalam HIR dan RBG terdapat perbedaan peradilan bagi bangsa pribumi dan non pribumi,\" kata Erdi.
Erdi menjelaskan kembali mengacu kepada keputusan-keputusan yang tersebut diatas. “Prosesi penobatan atau jumenengan tidak asal-asalan. Oleh karena, keraton-keraton di Cirebon berbeda dengan keraton-keraton di Nusantara. Keraton-keraton di Cirebon itu mengacu pada Syariah Islam tidak menggunakan sistem Salic, yaitu orang yang menjadi sultan tidak harus putra pertama laki-laki dari Raja. Itu sesuai dengan penelusuran para sejarawan dan perubahan terjadi pada masa Syech Syarif Hidayatullah menjadi Sultan Cirebon pertama,” pungkasnya.
Sementara, Harian Rakyat Cirebon berusaha menemui Polmah Kesultanan Kasepuhan Cirebon Raden Rahardjo Djali di Kawasan Rest Area Tol Cipali. “Penobatan PRA Luqman telah menyimpang dari tata cara dan kebiasaan penobatan seorang sultan yang pernah dijalani oelh Sunan Gunung Djati, dimana sebelum penobatan harus dilakukan musyawarah keluarga besar dan para ulama untuk memilih yang paling mampu untuk memimpin kesultanan. Penobatan seorang sultan harus dilakukan oleh sesepuh dan ulama. Bukan seperti yang dilakukan oleh PRA Luqman, dimana yang bersangkutan menobatkan dirinya sendiri,” ungkap Rahardjo.
Berikut petikan wawancaranya.
Kericuhan sempat mewarnai jumenengan atau penobatan PRA Luqman Zulkaedin sebagai Sultan Sepuh XV di Bangsal Prabayaksa Keraton Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, pada Minggu (30/8/2020). Bagaimana pendapat Anda?
Penobatan PRA Luqman yang dilangsungkan pada tanggal 30 Agustus 2020 sempat diwarnai kericuhan, karena dua hal, pertama, Sudah bukan rahasia lagi bagi masyarakat kota Cirebon bahwa PRA Luqman bukan dari trah Sultan Sepuh XI, sehingga pengakuannya bahwa yang bersangkutan merupakan keturunan Sunan Gunung Djati juga patut diragukan. Kedua, Penobatan PRA Luqman telah menyimpang dari tata cara dan kebiasaan penobatan seorang sultan yang pernah dijalani oelh Sunan Gunung Djati, dimana sebelum penobatan harus dilakukan musyawarah keluarga besar dan para ulama untuk memilih yang paling mampu untuk memimpin kesultanan. Penobatan seorang sultan harus dilakukan oleh sesepuh dan ulama. Bukan seperti yang dilakukan oleh PRA Luqman, dimana yang bersangkutan menobatkan dirinya sendiri.
Disebutkan Anda menolak PRA Luqman sebagai Sultan Sepuh XV. Bentuk penolakan yang akan ditempuh, bisa Anda jelaskan?
Penolakan saya terhadap penobatan PRA Luqman dilakukan dalam bentuk, pertama, melalui pembentukan atau penggiringan opini publik seperti pemasangan spanduk, pemasangan iklan, melalui jumpa pers, dan melaui pendekatan dengan pondok pesantren di kota maupun di kabupaten Cirebon. Kedua, Melalui jalur hukum, dimana saya akan melakukan eksekusi Ketetapan Mahkamah Agung 82/Pn.Tjn.Jo.No. 279/1963 PT.Pdt.Jo.No.350K/Sip/1964.
Sumber: