Pelaku Kekerasan Perempuan Menyasar Pelajar
RAKYATCIREBON.ID-Kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami trand baru. Pelakunya menyasar kepada anak-anak dan pelajar. Modusnya diawali melalui perkenalan di jejaring media sosial (Medsos).
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DPPKBP3A) Kabupaten Cirebon , Hj Wiwin Winarni SSos MSi menjelaskan, ditahun 2019 angka kekerasan terhadap perempuan jumlahnya mencapai 108 kasus. Mayoritas menyasar para pelajar. Jumlahnya mencapai 46 kasus.
Modus pelaku, dengan berkenalan melalui jejaring media sosial. Dengan berbagai tipu daya, ujungnya berakhir dengan perlakuan tindakan kekerasan. Para pelakunya diduga berkelompok, mereka tersebar secara terorganisir.
“ Untuk kasus ini, korbannya itu kebanyakan mengenal pelaku melalui perkenalan lewat medsos. Saya juga tidak mengerti, dari Medsos kenapa sampai mau,” tuturnya, ke Rakyat Cirebon, Rabu (4/3).
Yang menarik, ketika melihat latar belakang pelakunya, diantaranya ada yang memiliki latar belakang pendidikan perguruan tinggi. Untuk S1 sebanyak 14 kasus, S2 dan S3 masing-masing 1 kasus. Sementara untuk latar belakang pendidikan SMA 29 kasus, SMP 28 kasus, SD 13 kasus dan selebihnya mereka yang tidak teridentifikasi latar belakang pendidikannya mencapai 21 kasus.
Dilihat dari usia pelaku, cukup mengagetkan. Karena sebanyak 2 kasus pelakunya masih berusia 6 sampai 12 tahun. Usia 13 sampai 18 tahun sebanyak 8 kasus, usia 19 sampai 24 tahun sebanyak 27 kasus. Pelaku yang usia 25 sampai 40 tahun sebanyak 47 kasus dan untuk usia pelaku diatas 40 tahun sebanyak 24 kasus.
DPPKB terus berupaya untuk melakukan upaya pencegahan. Mengingat, Kabupaten Cirebon memiliki tekad ingin mencapai Kabupaten Layak Anak. “Kami banyak melakukan edukasi, ke sekolah-sekolah. Karena kebetulan di kita ada sekolah yang korbannya banyak. Kita pun langsung turun ke sekolah,” kata dia.
Menurutnya, ketika diperhitungkan, jumlahnya mengalami trand peningkatan. Adanya peningkatan itu, seiring dengan massifnya upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mensosialisasikan. “Masyarakat kita mulai terbuka. Kalau ada apa-apa, mereka tidak malu. Untuk melaporkan. Kalau dulu, anaknya diperkosa, itu merupakan aib, tidak mau melaporkan. Sekarang, mereka berani untuk melaporkan. Lebih terbuka,” jelasnya.
Selain itu, pihaknya telah memiliki jejaring hingga ke pedesaan. Hampir disetiap desa ada. Dengan berbagai satuan. Mulai dari Satgas, kemudian Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
Kemudian, terang Wiwin untuk meminimalisir, selain melakukan sosialisasi dan advokasi, pihaknya pun melakukan program sekolah ramah anak. “Kita galakan disiplin positif. Tidak ada lagi bullying. Tidak ada lagi anak keliling lapangan karena terlambat. Selain sekolah juga menyasar ke Pesantren. Di Kabupaten malah sudah ada 17 pesantren ramah anak,” ungkapnya.
Hal yang sama juga masuk ke ranah pelayanan. Seperti Puskesmas ramah anak. Salah satu puskesmas yang menjadi percontohan, ada di Beber. Predikatnya sudah bukan lagi ditataran lokal. Namun sudah masuk predikat terbaik skala nasional.
“Disana pelayanannya sudah maksimal. Khususnya terkait dengan puskesmas layak anak, hak-hak terhadap anak sudah terpenuhi. Berbagai fasilitasi seperti tempat bermainnya, ada sarana konseling lagi ada,” imbuhnya. (zen)
Sumber: