Membiarkan Hakim Nakal
MAHKAMAH Agung semestinya tidak membiarkan hakim yang terbukti melanggar kode etik. Dari 58 rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik hakim yang diperiksa Komisi Yudisial (KY), sejauh ini cuma tiga rekomendasi yang dilaksanakan. Sikap lunak MA menyebabkan perilaku dan integritas hakim tak kunjung membaik.
Banyaknya hakim nakal itu terungkap dari laporan yang ditelaah KY. Dugaan pelanggaran kode etik hakim yang diterima lembaga itu pada semester pertama 2019 mencapai 740 kasus. Angka ini memang sedikit turun dibanding jumlah laporan pada periode yang sama tahun lalu, yakni 792 kasus. Hanya, jumlah hakim yang benar-benar terbukti melanggar kode etik masih cukup tinggi.
Angka-angka itu tidak sekadar statistik, tapi menunjukkan betapa mencemaskan peradilan kita. Mahkamah seharusnya menindak tegas semua hakim yang terbukti menabrak kode etik. Lembaga ini terkesan menyia-nyiakan wewenang besar yang diberikan undang-undang dalam mengawasi dan membina para hakim. Wewenang MA dalam urusan ini bahkan jauh lebih besar daripada KY.
Sesuai dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, fungsi pengawasan tertinggi penyelenggaraan peradilan dipegang oleh MA. Lembaga ini memiliki wewenang mengawasi para hakim, dari soal teknis peradilan hingga tingkah laku hakim serta petugas pengadilan. Mahkamah juga mengawasi masalah administrasi dan keuangan badan peradilan.
Adapun KY hanya mengawasi perilaku hakim dengan berpegang pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Setelah memeriksa pelanggaran kode etik hakim, KY hanya bisa memberikan rekomendasi sanksi bagi hakim yang nakal kepada Mahkamah.
Dalam urusan promosi hakim, KY juga hanya bisa memberi rekomendasi mengenai rekam jejak para hakim. Seperti halnya rekomendasi sanksi hakim nakal, Mahkamah juga terkesan kurang peduli terhadap rekam jejak hakim yang dikumpulkan KY. Hakim yang rekam jejaknya buruk di mata KY justru mendapat posisi penting di pengadilan. Hal ini menyebabkan proses reformasi peradilan seperti berjalan di tempat.
Potret dunia peradilan bahkan tak jauh berubah dari zaman Orde Baru, ketika pengelolaan hakim masih di bawah Kementerian Kehakiman. Setelah semua urusan hakim diambil alih MA, perilaku buruk hakim masih merajalela. Hal ini telah dibeberkan dalam buku Problematika Hakim dalam Ranah Hukum, Pengadilan, dan Masyarakat di Indonesia, yang diterbitkan Komisi Yudisial dua tahun lalu. Buku tersebut menyoroti antara lain urusan mutasi dan promosi yang kurang transparan.
Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah seharusnya mencermati masalah pembenahan dan pengawasan hakim yang hingga sekarang belum beres. Pemberian wewenang yang terlalu besar kepada MA justru menyebabkan reformasi peradilan terhambat. Revisi undang-undang diperlukan untuk mempercepat perbaikan dunia peradilan. Negara seharusnya memberikan wewenang yang lebih besar kepada KY dalam mengawasi hakim. (*)
Sumber: