Serikat Pekerja Endus Upaya Pengkerdilan Pertamina

Serikat Pekerja Endus Upaya Pengkerdilan Pertamina

INDRAMAYU - Serikat Pekerja PT Pertamina (Persero) Bersatu Balongan (SP-PBB) kecewa dengan adanya upaya pengkerdilan Pertamina, dan upaya privatisasi dalam rencana proyek pengembangan kilang atau Refinery Development Master Plan (RDMP).
\"kilang
Pengurus SP-PBB sampaikan keprihatinan kepada pemerintah. Foto: Tardi/Rakyat Cirebon
Ketua Umum SP-PBB, Tri Wahyudi menegaskan, atas kondisi yang sekarang terjadi di lingkungan Pertamina pihaknya menyatakan prihatin, marah, hingga perlu dilakukan penolakan. 

Sikap tersebut didasarkan atas aset kilang Pertamina yang 100 persen milik negara akan tergadaikan dan terancam terlikuidasi, jika tetap menerapkan mekanisme kerjasama‎ dengan pihak asing atau swasta. Bahkan hilangnya entitas Pertamina sebagai kilang milik negara beralih kepada tangan asing atau swasta.

\"Juga, hilangnya kemandirian Pertamina sebagai BUMN terkait pengelolaan ketersediaan BBM untuk masyarakat sebagai penugasan dari negara. Kemudian muncul adanya kepentingan asing atau pemburu rente dalam pengelolaan perusahaan milik negara yang mempunyai peran strategis terhadap kemandirian serta pemenuhan kebutuhan BBM di Indonesia. Bahkan tidak ada upaya maksimal dari direksi Pertamina untuk mendapatkan sumber dana lain (dalam negeri, red) untuk pembiayaan proyek RDMP, sehingga kepemilikan tetap seratus persen Pertamina‎,\" paparnya didampingi Sekretaris SP-PBB, Wawan Darmawan dan sejumlah pengurus lainnya.

Dengan berbagai dasar pertimbangan itu, SP-PBB menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Diantaranya, Presiden Joko Widodo agar membatalkan kesepakatan kerjasama proyek pengembangan kilang RDMP melalui segala mekanisme yang merugikan negara. 

Lalu presiden menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang menugaskan pembangunan kilang baru sepenuhnya dilakukan oleh Pertamina sebagai penugasan negara. \"Dengan konsep penugasan negara ini maka diyakini bahwa Pertamina akan dengan mudah mendapatkan dukungan permodalan,\" ungkapnya.

Penting pula, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) harus tegas bersikap dengan menunjukan keberpihakan dan dukungan penuh terhadap perusahaan milik negara. Yakni Pertamina dalam bisnis avtur dengan mensyaratkan‎ jika pihak asing atau swasta ingin berbisnis avtur di Indonesia. 

\"Mereka (asing atau swasta, red) diharuskan membangun kilang untuk mengolah avtur di Indonesia dan distribusinya tidak hanya pada daerah-daerah tertentu yang dianggap basah saja,\" ujarnya.

Menurutnya, tuntutan yang disampaikan kepada pemerintah tersebut demi kepentingan nasional dalam rangka membangun kedaulatan energi yang pada gilirannya akan mampu memperkuat ketahanan nasional. \"Makanya kami akan terus berjuang untuk tercapainya kedaulatan energi nasional,\" kata dia.

Disampaikannya, Pertamina yang merupakan BUMN dengan tugas dan tanggung jawab mengelola ketahanan energi di Indonesia dari sektor hulu hingga hilir. Baik minyak maupun gas bumi sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33 untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. 

\"Sejak awal didirikan, Pertamina telah membuktikan kehandalannya dalam membangun dan menjalankan pengolahan minyak bumi menjadi BBM dan non BBM. Serta distribusinya dalam mendukung berjalannya ekonomi dan pembangunan sebagai bagian dari upaya menjaga kedaulatan energi dan stabilitas nasional, bukan sebagai bisnis semata,\" ungkapnya.

Namun saat ini ada upaya perusahaan asing atau swasta dengan dukungan pemerintah untuk melakukan distribusi atau berbisnis bahan bakar avtur. Tapi sayangnya, distribusi yang dilakukan hanya pada bandara-bandara besar atau daerah basah. 

Seharusnya disadari, bandara Indonesia bukan hanya ada di Jakarta, Surabaya, Bali, Medan, Makasar, Manado, Balikpapan, dan Batam. \"Jika pemerintah tetap membuka dan memberi kesempatan pihak asing atau swasta berbisnis avtur di bandara basah saja, maka pemerintah harus tidak melarang Pertamina ketika menghentikan bisnis dan penyaluran avtur di bandara-bandara kecil di seluruh Indonesia,\" ketusnya.

Demikian pula dalam menilai harga jual avtur Pertamina lebih mahal dibandingkan di Singapura dan Malaysia. Harus dipahami bahwa ada faktor-faktor penyebab yang berbeda antara Indonesia dengan negara lain, seperti luas wilayah yang sangat berpengaruh terhadap biaya angkut. Termasuk adanya beban PPn yang masuk dalam harga jual dan faktor-faktor lainnya yang membuat harga lebih tinggi.

\"Pada intinya kami mendukung adanya program pengembangan kilang melalui proyek RDMP sebagai tuntutan pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri yang selama ini ketergantungan impor, dan dilakukan dengan menggunakan sumber dana dalam negeri secara mandiri. Jadi kami menolak permodalan dari asing atau swasta,\" tukasnya. (tar)

Sumber: