Cabut Izin Perusahaan yang Tak Pakai Garam Lokal!
Namun sungguh ironi, ditengah musim kemarau yang tentunya petani garam sedang memanen justru garam impor masuk.
Tentunya ini menjadi sebuah pertanyaan besar? Bahkan eksekutif maupun legislatif ramai-ramai mengecam perusahaan yang memakai garam impor.
Bupati Cirebon, Drs H Sunjaya Purwadisastra MM MSi mengaku telah melarang garam impor asal Australia untuk beredar di wilayah Kabupaten Cirebon. Hal itu dikatakan bupati kepada sejumlah wartawan, Selasa (9/8) di sela kegiatannya.
Menurut bupati, Kabupaten Cirebon merupakan salah satu daerah penghasil garam tersebesar di wilayah Jawa Barat dan bahkan Nasional.
Oleh karena itu, dengan datangnya garam impor ini maka akan mencederai para petani. Dijelaskannya juga, selama ini hasil garam lokal petani sangatlah bagus.
Dengan kata lain, perusahaan yang ada di wilayah Kabupaten Cirebon tidak perlu lagi untuk mengimpor garam dari luar negeri.
“Seharusnya kan petani garam bisa ekspor karena hasil kita masih surplus. Kita sudah arahkan kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk melarang beredarnya garam impor di wilayah kita. Kita juga meminta kepada perusahaan untuk tidak menerima garam impor,” tegasnya.
Disinggung mengenai kualitas dari garam hasil petani local, bupati menegaskan garam dari petani bisa bersaing dengan garam impor.
Walaupun, bupati sendiri mengaku tidak mengetahui teknis pembuatan garamnya.
“Sangat bagus dan saya rasa juga tidak kalah (garam local) dengan garam impor. Peningkatan (kualitas garam) juga terus dilakukan dinas terkait,” tambahnya.
Meskipun demikian, bupati mengakui pihaknya tidak bisa berbuat banyak mengingat kebijakan untuk mendatangkan garam impor itu berada di tangan Pemerintah Pusat.
“Sekarang sih kita hanya bisa berkoordinasi dengan Pemkot Cirebon agar garam itu tidak dulu beredar di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kasihan petani kalau ternyata garam impor yang digunakan oleh pengusaha,” tandasnya.
Sementara itu, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Cirebon benarkan garam impor yang ditemukan di Pelabuhan Cirebon milik perusahaan PT Lima-lima.
“Ya informasi yang kami terima garam tersebut milik PT Lima-lima di Kecamatan Mundu,” terang Kepala Bidang Perdagangan dan Perindustrian, Supardi Selasa (9/8).
Namun Supardi belum bisa menjelaskan apakah garam tersebut untuk kebutuhan industry atau konsumsi. Untuk mengetahui itu pihaknya masih mendalami temuan tersebut. “Saya belum tau apakah untuk industry atau konsumsi mas,” tuturnya singkat.
Sementara itu, Ketua Komisi II, Cakra Suseno mengaku sudah berkordinasi dengan Disperindag dan mendapatkan informasi mengenai kepemilikan garam tersebut.
“Tadi siang (kemarin, red) saya sudah hubungi kepala bidangnya. Dan katanya benar milik PT Lima-lima, nanti kami tinjau ke sana lah,” tandasnya.
Sikap Komisi II sambungnya, jelas tetap membela petani garam dimana telah membawa Kabupaten Cirebon menjadi produsen garam terbesar di Indonesia.
Melihat kondisi petani garam yang saat ini cukup memprihatinkan, selain karena harganya yang rendah juga lantaran banyaknya stok yang tidak bisa keluar sehingga barang rusak.
“Yang pertama karena cuaca kemudian juga dengan adanya garam impor sehingga membuat produksi kita harganya jatuh. Oleh karena itu kita akan telusuri garam tersebut untuk kebutuhan industry atau konsumen,” tegasnya.
Perusahaan-perusahaan yang membutuhkan garam dalam mengembangkan industrinya, lanjut Cakra seharusnya lebih mengutamakan produk local. Karena produk local sangat melimpah dan juga kualitasnya cukup baik.
“Seharusnya perusahaan mengakomodir garam kita, bukan malah garam luar. Ini untuk memberdayakan petani garam kita,” tegasnya.
Selain akan melakukan kordinasi dengan dinas terkait, Komisi II juga berencana akan mendatangi perusahaan yang diduga memesan garam tersebut dari Australia.
“Saya baru dengar jika milik perusahaan kita, nanti kita akan cek ke sana untuk mengetahui kebenarannya,” imbuhnya.
Bukan hanya itu, Cakra akan meminta pada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) untuk tidak memperpanjang izin perusahaan yang nakal. Seperti contohnya tidak mengakomodir produksi local seperti garam.
“Bila perlu ya perusahaan nakal izinnya tidak diperpanjang,” cetusnya. (yog/ari)
Sumber: