RAKYATCIREBON.ID, SURABAYA - Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur (MUI Jatim) ikut bersuara terkait fenomena pernikahan beda agama pasangan RA dan EDS yang disahkan hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Menurut Sekretaris Komisi Fatwa MUI Jatim KH Sholihin, pengadilan tidak mengesahkan pernikahan beda agama, tetapi hanya memberikan izin.
"PN Surabaya tidak mengesahkan, hanya mengizinkan dengan dasar UU No 1 Tahun 1974 tidak ada larangan (pernikahan beda agama)," ucap Kyai Sholihin diberitakan JPNN Jatim pada Kamis (23/6).
Namun demikian, Komisi Fatwa MUI Jatim tetap mengeluarkan sikap mengenai pernikahan beda agama itu. Sikap MUI Jatim soal Pernikahan Beda Agama Pertama, Komisi Fatwa MUI Jatim menolak perkawinan beda agama karena hukumnya haram dan tidak sah.
"Larangan tersebut mengacu pada Fatwa MUI 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama, UU No 1 Tahun 1974, dan kompilasi hukum Islam," ucap Kiai Sholihin.
Kedua, jika pernikahan beda agama dilegalkan, secara otomatis, mendorong seseorang menyalahi ajaran agamanya dan itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2).
Kyai Sholihin menjelaskan pernikahan tidak hanya sebatas hubungan antarpersonal dan muamalah, tetapi ada unsur ubudiyah atau manifestasi ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya.
"Sedangkan Islam melarang pernikahan beda agama," tegas pengurus MUI Jatim itu.
Kyai Sholihin menegaskan larangan pernikahan beda agama dalam Islam bukan untuk mendiskriminasi agama lain, tetapi sebagai bentuk menjaga kemaslahatan dan perlindungan terhadap salah satu tujuan syariat, yaitu hifz ad-din artinya legalisasi.
"Legalisasi pernikahan beda agama adalah bentuk mafsadah atau hal negatif yang harus dihindari sebagaimana kaidah fikih, yaitu dar'ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil masholih (mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan)," tutur Kyai Sholihin. (jpnn/rakcer)