RAKYATCIREBON.ID, INDRAMAYU–Ancaman Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah Kabupaten Indramayu patut diwaspadai.
Sejawal awal tahun 2022 hingga pekan keempat Juli, Dinas Kesehatan (Dinkes) mencatat sudah ada 190 kasus dengan tiga kematian.
Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu, dr Wawan Ridwan mengatakan, jumlah kasus dan angka kematian akibat DBD pada Januari-Juli 2022 perlu diwaspadai. Sedangkan pada tahun 2021 tercatat ada 210 kasus dengan 4 kematian.
“Diprediksi akan melebihi dari tahun kemarin. Tapi, kami berupaya supaya angka kematiannya tidak melebihi seperti tahun kemarin walaupun kasusnya meningkat,” kata Wawan Ridwan, Senin (1/8).
Menurutnya, saat ini tren DBD mengalami peningkatan. Kondisi ini diperhadapkan dengan masih turunnya hujan meski menurut BMKG sudah memasuki musim kemarau.
“Nanti di bulan September menjelang penghujan, tapi kenyataannya sekarang masih ada hujan. Ini yang kemudian harus kita waspadai berkembang biaknya nyamuk Aedes Aegypti. Kita imbau kepada masyarakat untuk tetap melakukan pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M plus,” terangnya.
Dia menuturkan, upaya pemberantasan nyamuk dengan cara fogging bisa dilakukan. Tapi, kurang efektif. Karena cara ini hanya alternatif untuk membunuh nyamuk dengan efektifitas hanya dua minggu. Tapi kemudian nyamuk dipastikan akan berkembang biak lagi.
“Kalau kita tidak melakukan pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M plus dipastikan nyamuk akan berkembang biak lagi. Sehingga opsi fogging adalah opsi terakhir yang mestinya memprioritaskan 3M plus,” kata dia.
Disinggung sebaran kasusnya, Wawan menyebut hampir merata di semua wilayah kecamatan. Hanya saja ada beberapa kecamatan yang tingkat prevalensinya lebih tinggi, dan biasanya di wilayah padat penduduk. Diantaranya Kecamatan Indramayu, Jatibarang, Balongan, Haurgeulis, dan Patrol.
“Kasusnya endemik untuk lokal, tapi kita berupaya agar tidak menjadi kejadian luar biasa. Kita tidak ingin menjadi wabah yang dipastikan nanti penanganannya harus ekstra,” ujarnya.
Disinggung kerap ada permintaan dari masyarakat agar lingkungannya fogging, pihaknya bisa memenuhinya sesuai dengan ketentuan.
Dikatakannya, dalam hal ini ada beberapa tahapan. Seperti, dilakukannya penyelidikan epidemiologi oleh puskesmas terdekat.
Juga menghitung jumlah pasien terkonfirmasi DBD di satu wilayah cakupan RT, misalnya. Perlu diketahui pula tingkat kecepatan penularannya, serta kondisi lingkungannya.
Dia mengungkapkan, dari beberapa poin itu pihaknya menghitung dan memperrtimbangkan apakah diperlukan fogging atau tidak. Pelaksanaan fogging tidak semata-mata karena permintaan.
“Tapi, tetap kita mengacu pada indikator-indikator yang kemudian baru kita putuskan suatu wilayah itu perlu dilakukan fogging atau tidak berdasarkan penyelidikan epidemiologi oleh petugas puskesmas atau biasa disebut PE,” ujarnya.