RAKYATCIREBON.ID, MAJALENGKA – Nama saya Dara Dinanti, perempuan kelahiran tahun 1995 asal Majalengka. Sebagai perempuan, saya nyaman menggunakan kerudung. Karena saya merasa lebih percaya diri dengan dikaruniai wajah saya yang oval, mata dan hidung saya yang menurut orang lain bagus.
Namun, Dara Dinanti cuma ada di media sosial. Nama itu adalah rekaan saya yang sengaja dibuat dengan meminjam foto teman yang menurut standar masyarakat dianggap menarik. Saya sudah meminta consent atau persetujuan dia sebelumnya.
Jujur saja, saya sebenarnya adalah Laki-laki. Namun punya dua akun Facebook. Satu asli bahwa itu saya sendiri sebagai laki-laki. Akun satunya, saya sebagai perempuan bernama Dara Dinanti. Tujuannya ingin mengetahui, merasakan, dan membuktikan bahwa menjadi perempuan sangat rentan menerima perlakuan kekerasan gender khususnya di media sosial seperti Facebook.
Dari data Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat adanya peningkatan kasus kekerasan berbasis gender di ranah siber. Tercatat ada 3.838 kasus kekerasan berbasis gender yang ditangani Komnas Perempuan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.721 kasus merupakan kekerasan siber berbasis gender (KSBG), atau Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Sementara, jenis kekerasan seksual dalam ranah personal yang dihimpun dari 129 lembaga layanan, tercatat ada 108 kasus atau 4 persen terjadi di ranah siber.
Adapun kekerasan berbasis gender di ranah publik terjadi paling banyak di dunia siber dengan 875 kasus atau sekitar 69 persen. Dari data tersebut, hubungan pelaku dan korban kekerasan berbasis gender di ranah publik menunjukkan bahwa paling banyak pelaku adalah teman di media sosial dengan jumlah 410 orang.
Saya membuat akun Facebook perempuan itu pada tanggal 7 Agustus 2022. Dalam sehari saja, sudah ada seratus lebih pertemanan yang minta dikonfirmasi. Tiga hari kemudian, setelah saya membuka akun, 2000 pertemanan sudah saya dapatkan. Akun Facebook Dara Dinanti, ternyata cukup mengundang mayoritas kaum laki-laki meminta pertemanan.
Ada pula kaum perempuan yang berteman. Namun hanya sedikit, sekitar 140, sisanya laki-laki. Yang mau saya ceritakan adalah, ternyata, sebagai perempuan itu, saya dipandang sebagai objek seksual oleh kaum laki-laki. Setelah pertemanan diterima, selang beberpa detik, langsung nginbok.
Ungkapan kata yang pertama muncul, rata-rata salam kenal atau Assalamualaikum, atau terima kasih sudah dikonfir. Setelah tak ada respons, lima atau sepuluh menit kemudian, muncul ungkapan umpatan kasar, saya dikatain sombong, cewek sibuk, sok alim, kamu janda apa bukan? Sayang kita video call yuk. Serta sederet kalimat lainnya yang menurut saya kurang sopan.
Bentuk paling parah lagi, sejumlah teman yang dikonfirmasi pertemanan itu, berasal dari negara-negara luar, seperti Arab Saudi, Pakistan, India, Amerika dan masih banyak lagi. Jika dibanding dengan akun Indonesia yang lebih saopan dengan menyapa terlebih dahulu, akun dari luar tanpa basa-basi langsung menelepon menggunakan fitur yang tersedia di Facebook.
Setelah saya mengaktifkan akun Facebook, dalam lima menit saja, ketika tak direspon, satu akun teman pernah tercatat ada yang menelepon hingga 10 kali panggilan. Sengaja karena memang saya tidak mau menjawabnya.
Kemudian, si laki-laki itu malah mengirimkan video porno dan gambar-gambar vulgar lainnya, yang kontennya perempuan sebagai objek seks.
Sebagai laki-laki yang menyamar menggunakan akun perempuan, ternyata saya mengalami langsung, saya ini ternyata dijadikan obyek seksual. Padahal, foto yang saya tampilkan hanya ada tiga saja. Itupun foto tampilan saya sebagai perempuan yang menurut saya sangat sopan. Berkudung. Tampil biasa saja.
Selanjutnya, setiap postingan, terkadang saya setting agak sedang galau. Misalnya, tekstual kata-kata yang seolah-olah saya menanti seseorang. Itu yang menanggapi mencapai ratusan dalam hitungan lima belas menit, yang mengomentari ada lebih dari lima puluh akun pertemanan.
INTERNET BELUM JADI RUANG AMAN
Menurut riset yang dilakukan oleh firma keamanan digital, Norton, 76% dari 1.000 responden wanita yang berusia dibawah 30 tahun pernah mengalami pelecehan seksual secara online.
Di antaranya, ajakan chat yang menggoda dan mengganggu di beberapa platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, dan lainnya.
Dalam hasil survey lainnya yang dilakukan oleh Mitchell, Finkelhor, dan Wolak (2003) melaporkan bahwa 62% dari remaja di Australia menerima email terkait kekerasan seksual yang tidak diinginkan ke alamat pribadi mereka, 92% merupakan pengirim tidak dikenal.
Survey tersebut menunjukkan tidak terciptanya lingkungan yang nyaman di media online bagi perempuan. Bahkan di akun pribadi yang sulit diakses oleh orang lain sekalipun.
“Hal itu karena rendahnya pemahaman terhadap penggunaan media sosial di masyarakat,” ujar ketua Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi (RTIK) kabupaten Majalengka, M Abduh Nugraha, Sabtu 10 September 2022.
Sebagai perempuan di dunia maya yang bernama Dara Dinanti, saya mengalami kekerasan baik psikis dan ancaman fisik (karena ada sebagian akun pertemanan yang inbok tapi tak diladeni, malah mengancam bilamana bertemu di darat, atau dunia nyata, ia akan memperlakukan saya seperti yang dia inbok-an kepada saya). Banyak yang memperlakukan saya sebagai objek seksual.
Membayangkan itu, saya berpikir, mungkin banyak ratusan perempuan lain yang mengalami hal serupa, saya takut dan ketakutan. Mungkin itulah juga yang dialami oleh akun-akun asli kalangan perempuan, di dunia maya seperti Facebook.
Akun serupa, Elis Trisnawati yang sama-sama perempuan, pernah juga menceritakan bahwa dirinya mengalami hal serupa denganku sebagai Dara Dinanti. Ditelepon banyak kaum laki-laki. Tiba-tiba nginbok dengan mengirimkan video porno. Mengajak hubungan suami istri dengan menanyakan tarif. Melancarkan rayuan, saya cinta kamu. Saya sayang kamu. Padahal kenal baru tiga menitan.
Kalaupun saya jawab, dengan kalimat sopan, mereka kaum laki-laki itu tetap saja menjawab dengan kata-kata yang menjurus pada hal-hal yang menurut saya asusila.
Banyak pula yang bertanya dalam inbok, menanyakan statusnya janda atau masih bersuami? Biasanya saya diam. Kalaupun dijawab, saya tanya balik. Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan kembali. Memangnya Anda beristri atau duda, kenapa kalau saya janda? Apakah salah dengan status sebagai janda?
Dalam seminggu menjadi Dara Dinanti, saya merasa cukup mengalami shok. Bagaimana ini. Begitu banyak ancaman ketika saya menjadi sosok perempuan di dunia maya. Begitu banyak kaum laki-laki yang ternyata memandang wanita, hanya sebagai objek seksual secara fisik.
HARAPAN ITU MASIH ADA
Terpisah, Aktivis perempuan dan Gender, Tunggal Pawestri menyebut, KBGO marak karena banyak hal menjadi penyebab. Minimnya informasi dan pengetahuan tentang keadilan gender, masih kuatnya budaya menyalahkan korban, juga hukum/aturan yang belum berpihak kepada korban disinyalir menjadi penyebabnya.
“Masih banyak orang yang menggunakan media sosial secara tak bertanggungjawab dan pelaku tahu bahwa mereka bisa lolos dengan mudah karena aparat penegak hukum tak bersikap keras terhadap para pelaku-pelaku ini. Platform media sosialnya pun kurang memberikn proteksi dengan cepat kepada korban. Jadi semua penyebab tentu terkait satu sama lain,” ujarnya ketika dikonfirmasi Selasa 13 September 2022.
Tidak hanya itu, dia menambahkan, korban harus berani menghubungi orang atau lembaga-lembaga yang dapat memberikan bantuan. Misal ke layanan pendukung seperti awaskbgo.id atau lembaga layanan seperti LBH Apik.
“Solusinya harus konprehensif ya. Informasi yang meluas di masyarakat mengenai bahaya KBGO dan dampaknya terhadap korban. Kampanye mengenai kehati-hatian menjaga data privasi. Implementasi UU TPKS yang benar--benar melindungi korban, juga merevisi UU ITE, yang justru seringnya malah mengkriminalisasi korban alih-alih memproteksinya,” tandasnya.
Senada dengan Tunggal Pawestri, Founder Umah Ramah, Asih Widiyowati menilai, ada empat penyebab masih maraknya KBGO. Diantaranya, maraknya penggunaan media sosial yang semakin luas, masih banyak platform media sosial yang belum terlalu efektif dalam menangani KBGO yang terjadi, bystander (diam saja) yang terjadi saat melihat atau mendengar temennya mengalami KBGO, dan penyebab lainnya yaitu belum adanya perlindungan data pribadi bagi pengguna media sosial yang diberikan oleh negara kepada warganya.
“Saya merasa empat hal ini yang menjadi penyebab sehingga perlu kesadaran bersama dan lebih hati-hati dalam menggunakan media sosial,” ujar Asih, Rabu 14 September 2022.
Asih menambahkan, yang sebaiknya dilakukan orang yang mengalami KBGO, pertama berusaha tenang dan tidak menyalahkan diri sendiri karena bukan mau kita mengalami ini, kedua, mengcupture apa yang dialami terkait KBGO.
Korban, kata Asih, harus berusaha bercerita atau encari teman yang bisa dipercaya untuk menceritakan kejadian sebagai support sistem, dan terakhir lebih ketat digitat security media sosialnya.
“Sebagai komunitas yang bergerak di isu-isu kemanusiaan ikut melakukan kampanye terkait waspada KBGO, mendorong pemerintah untuk hadir melindungi para pengguna media sosial agar tak terus-terus mengalami KBGO, ikut menjadi bagian support system bagi mereka yang mengalami KBGO,” ujarnya.
Umah Ramah (UR) sendiri adalah organisasi yang melakukan gerakan pencegahan kekerasan seksual dengan berbasis pada nilai-nilai keislaman dan kearifan Nusantara.
Gerakan ini dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan, keadilan, dan rahmatan lil ‘alamin. Pada awalnya UR fokus pada masalah kesehatan reproduksi, akan tetapi muara dari masalah tersebut dan masalah seksualitas adalah kekerasan seksual.
UPAYA KOMNAS PEREMPUAN
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Maryke Hutabarat, mengatakan penamaan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) mengacu kepada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sehingga sebutan KBGO yang lebih dulu muncul dan populer diganti menjadi KSBE.
Menurut Rainy, maraknya kasus KSBE berbanding lurus dengan kasus kekerasan seksual di dunia riil. Artinya, kekerasan seksual yang terjadi di dunia riil juga berlangsung di ruang-ruang virtual.
Komnas Perempuan mencatat bahwa kasus KSBE bertambah pesat segi jumlah maupun bentuknya dari waktu ke waktu. Dari segi jumlah, lonjakan kasus KSBE setiap tahun sebagaimana dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan dan lembaga layanan terjadi secara ajek. Lonjakan pesat terjadi pada 2019 - 2020, yakni 235%.
Pada masa pandemi COVID-19 tahun 2021 yang ditandai pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan penggunaan masif teknologi digital dan internet, lonjakan mencapai 83%, dari 940 kasus menjadi 1721 kasus. Dari segi bentuk, Komnas Perempuan mencatat ada sekitar 25 jenis KSBE.
Berbagai bentuk KSBE yang terjadi di media sosial belum dikenali dengan baik oleh aparat penegak hukum dan warganet. Data yang didokumentasikan oleh Komnas Perempuan dan lembaga layanan merupakan data yang diadukan sehingga KSBE merupakan fenomena gunung es.
Meski kasus KSBE yang dilaporkan ke Komnas Perempuan dan lembaga layanan meningkat setiap tahunnya, yang artinya terjadi peningkatan kesadaran dan pemahaman publik tentang KSBE, namun masih banyak lagi yang belum dilaporkan.
“Oleh karena itu, maraknya KSBE di satu sisi juga dapat dibaca sebagai adanya peningkatan kesadaran publik tentang KSBE sebagai tindak pidana,” ujar Rainy Maryke Hutabarat, Senin 19 September 2022.
Pengesahan UU TPKS pada April 2022 berkontribusi pada peningkatan pengaduan kasus-kasus KSBE. Juga dilkeluarkannya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Tinggi. Publik semakin sadar bahwa KSBE merupakan tindak pidana. Karena itu, ke depan jumlah kasus KSBE akan melonjak,”.
Namun di sisi lain, lonjakan kasus KSBE menunjukkan bahwa pemanfaatan masif teknologi digital tidak dibarengi pemahaman tentang etika bermedia sosial di antaranya bahaya yang mungkin terjadi bila seseorang membagi atau menyebarluaskan hal-hal foto/video/teks tertulis yang bersifat pribadi.
Lebih lanjut Rainy menambahkan, media sosial adalah ruang publik terbuka di mana tidak semua pengguna media sosial memahami etika bermedia sosial (Facebook, twitter, Instagram, youtube posdscat, dan sebagainya) dan beritikad baik.
“Teknologi digital itu ibarat pedang bermata dua: dapat digunakan untuk kebaikan dan kejahatan,” ujarnya.
Komnas Perempuan mencatat, terdapat kasus-kasus KSBE yang beririsan dengan tindak pidana perdagangan orang, pemaksaan prostitusi, dan tindak pidana lainnya.
Oleh karena itu, penting bagi warganet untuk memahami “do and don’t” dalam bermedia sosial terlebih Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur data pribadi. Peran pemerintah, lembaga agama, lembaga pendidikan dan organisasi masyarakat sipil penting untuk mencegah terjadinya KSBE.
Alasan lainnya, melonjaknya KSBE juga diakibatkan orang tua yang kurang mengawasi penggunaan ponsel/gadget oleh anak-anaknya khususnya yang masih di bawah umur. Anak-anak di bawah umur membutuhkan pendampingan orang tua dalam berdia sosial.
“Komnas Perempuan mencatat, media daring pernah memberitakan kasus anak di bawah umur dieksploitasi oleh laki-laki yang tak dikenalnya dan diminta mengirimkan foto diri dalam keadaan buka baju dan dijanjikan akan dibelikan mainan kesukaannya,” ujarnya.
Selain itu, penegakan hukum masih lemah. Hukuman terhadap pelaku belum menjerakan sehingga pelaku mengulangi perbuatannya. Sebagian aparat penegak hukum memandang KSBE sebagai bentuk kenakalan atau keisengan orang muda. Padahal KSBE adalah tindak pidana. Komnas perempuan mengimbau masyarakat, bila mengalami KSBE, setidaknya lakukan beberapa hal. Amankan alat bukti. Rekam postingan, lakukan screen-shoot. Dokumentasikan secara kronologis kejadian yang anda alami.
“Alat bukkti dan laporan kronologis diperlukan untuk pelaporan ke dan pengusutan oleh aparat penegak hukum,” ujarnya.
Bila merasa takut kepada pelaku atau mendapat ancaman dari pelaku, minta bantuan perlindungan kepada orang yang anda percaya termasuk bantuan keamanan digital.
Laporkan ke Komnas Perempuan, lembaga layanan atau lembaga bantuan hukum terdekat. Bila terjadi di dunia pendidikan, laporkan ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di lembaga pendidikan anda. Bila merasa ragu, minta bantuan sahabat yang anda percaya. Anda dapat meminta layanan konseling dan bantuan hukum jika membutuhkan. Laporkan ke aparat penegak hukum dan blokir pelaku.
Selanjutnya, Komnas perempuan juga mengajak masyarakat dengan melakukan pencegahan dengan melakukan tindakan.
Untuk warganet, pastikan perlindungan privasi akun media sosial anda, selektif memilih teman dan menyeleksi unggahan pribadi untuk media sosial. Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil mensosialisasikan UU TPKS. Lembaga-lembaga pendidikan mengeluarkan mekanisme Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Lembaga-lembaga agama mensosialisasikan kepada warganya termasuk para orang tua/keluarga tentang berinternet sehat serta kesetaraan gender. Mengimplementaikan UU TPKS khususnya hukuman terhadap pelaku memberi efek jera dan rehabilitasi pelaku untuk memutus keberulangan.
“Ada peran Media massa juga, yaitu mendukung melalui pemberitaan kasus-kasus KSBE yang berperspektif korban,” ungkapnya. (hsn)
*Liputan ini menjadi bagian dari program training dan hibah Story Grant, Magdalene dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).