RAKYATCIREBON,ID. JAKARTA -- Usul pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang berakhirnya masa jabatannya, terus menuai perbincangan terutama dari kalangan elite politik.
Terpenting, usul pemakzulan itu merupakan hal yang wajar karena memang diatur dalam undang-undang. Sehingga, usul itu bukan suatu perbuatan makar sebagaimana asumsi pihak tertentu.
Pernyataan itu disampaikan anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin. Dia menyatakan bahwa pemakzulan presiden bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Menurut dia, pemakzulan atau impeachment presiden diatur dalam pasal 7 B ( ayat 1 sd 7 ) UUD 1945 .
"Memang tidak mudah, tetapi bukan hal yang mustahil dilakukan karena memang diatur dan tidak melanggar undang-undang," kata Hasanuddin saat dikonfirmasi, Jumat (19/1).
Hasanuddin mengungkapkan ada berbagai tahapan yang harus dilalui sebelum memakzulkan presiden hasil pemilihan langsung oleh rakyat. Hasanuddin menjelaskan proses pemakzulan terhadap presiden diawali dengan penggunaan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) oleh DPR.
Dia menegaskan Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) sudah mengatur soal penggunaan HMP.
Merujuk Pasal 79 UU MD3, Hasanuddin menyatakan bahwa HMP merupakan hak DPR untuk menyikapi kebijakan pemerintah ataupun kejadian luar biasa yang terjadi di dalam maupun mancanegara.
HMP juga untuk menanggapi dugaan bahwa presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela.
"Hak menyatakan pendapat ini diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR. Bila memenuhi persyaratan administrasi dapat dilanjutkan dalam sidang paripurna," lanjut Hasanuddin.
Mantan sekretaris militer kepresidenan itu menegaskan ada syarat lain untuk meloloskan usul penggunaan HMP sebagaimana diatur Pasal 210 ayat (3) UU MD3, yakni diputuskan dalam rapat paripurna yang dihadiri dua pertiga dari seluruh anggota DPR.
Usul itu juga harus disetujui minimal dua pertiga dari anggota DPR yang mengikuti rapat paripurna. Baru setelah ada persetujuan dalam rapat paripurna, DPR menindaklanjutinya dengan pembentukan panitia khusus (pansus).
Setelah pansus bekerja paling lama 60 hari, hasilnya lantas dilaporkan dalam rapat paripurna DPR. "UU MD3 juga mengatur tentang pengambilan keputusan atas laporan hasil pansus dalam rapat paripurna yang harus dihadiri minimal dua pertiga dari jumlah seluruh anggota DPR," tuturnya.
Selanjutnya, hasil kerja pansus bisa dilanjutkan ke proses berikutnya jika disetujui sekurang-kuranya dua pertiga dari anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna. Jika hasil kerja pansus itu diterima, DPR meneruskannya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Proses selanjutnya ialah jika MK menyatakan presiden terbukti melanggar undang-undang, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk mengusulkan pemakzulan kepada MPR.
“Setelah itu MPR melakukan sidang paripurna untuk memutuskan usul DPR tentang pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden,” sambung Hasanuddin.
Usul pemberhentian presiden pun baru bisa dibahas oleh MPR melalui sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya tiga perempat dari seluruh anggotanya.
"Usul pemakzulan bisa diloloskan jika disetujui dua pertiga dari anggota MPR yang menghadiri rapat paripurna," tuturnya.
Hasanudddin menegaskan isu pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mencuat dalam beberapa hari terakhir ini jangan dianggap melawan hukum apalagi makar.
"Ini masalah biasa dalam era berdemokrasi. Kalau syaratnya terpenuhi sesuai UU ya bisa saja dilakukan dan kalau tak terpenuhi, ya, bukan masalah, tidak perlu menjadi kontroversi publik," pungkas Hasanuddin. (fajar/rakcer)