
RAKYATCIREBON.ID, CIREBON – Di tengah arus modernisasi yang kian deras, kesenian tradisional mulai terpinggirkan. Namun, di Desa Cipinang, Kecamatan Beber, Kabupaten Cirebon, ada satu warisan budaya yang masih bertahan, Genjring Dog-dog.
Kesenian ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga simbol penghormatan dan kekayaan budaya lokal. Kuwu Desa Cipinang, Dadang Iskandar, menjelaskan bahwa Genjring Dog-dog masih sering ditampilkan, terutama saat menyambut tamu istimewa atau dalam acara-acara tertentu.
BACA JUGA:DPRD: Dana CSR Harus Selaras Kebutuhan Warga
“Ini bentuk penghormatan kami kepada tamu istimewa, sekaligus cara melestarikan budaya leluhur,” ujarnya.
Salah satu tokoh penting dalam pelestarian Genjring Dog-dog Puri, menjelaskan dirinya sudah menggeluti kesenian ini sejak muda. Dulu, pertunjukan Genjring Dog-dog tak hanya menyuguhkan musik, tetapi juga atraksi akrobatik dan sulap.
BACA JUGA:Hotel Terancam Bangkrut, Pekerjanya Terpaksa di PHK
Puri awalnya merupakan salah satu pemain atraksi yang memanjat “teraje” atau tangga tradisional. Namun kini, unsur akrobat dan pertunjukan sulap mulai ditinggalkan karena kekurangan personel.
Yang tersisa hanyalah musiknya, genjring dan dog-dog—alat musik tradisional yang memadukan genjring khas shalawatan dan dug-dug, mirip bedug, yang biasa ditemukan dimasjid-masjid namun ukurannya lebih kecil.
BACA JUGA:Kang Dedi Mulyadi Tersentuh, Atas Perjuangan Seorang Ayah Nafkahi 7 Anak dengan Jualan Serabi
“Kalau lengkap, personilnya bisa sampai 15 orang, ada pemain musik, vokalis, dan pemain atraksi. Tapi sekarang tinggal alat musiknya saja,” kata Puri.
Meski sudah jarang diundang, Genjring Dog-dog masih hidup di acara-acara seperti perayaan 17 Agustus, hajatan, dan khitanan. Puri bersyukur karena masih ada generasi yang mau ikut melestarikan kesenian ini.
BACA JUGA:Listrik Belum Merata, Jabar Gratiskan Pemasangan Listrik untuk Warga
Yang membuat Genjring Dog-dog unik, selain alat musiknya, adalah syair lagu-lagunya. Berawal dari shalawatan yang mengambil naskah Al Barzanji, kini syairnya diubah menjadi pantun dalam bahasa Sunda agar lebih mudah dipahami masyarakat setempat.
“Biar pesannya sampai dan lebih dekat dengan warga,” ujarnya.
BACA JUGA:Atasi Kekeringan, Tiga Desa di Beber Dapat Program Pamsimas
Pria kelahiran 1943 itu mengaku khawatir, Genjring Dog-dog punah. Oleh karenanya, ia bersama H Mujib--personil seangkatannya, terus berusaha agar Genjring Dog-dog terus eksis tidak sampai punah dengan mengajarkan kepada generasi muda.
"Cara memainkan alat musiknya pun mudah. Dengan cara dipukul. Biar suasana lebih meriah," tuturnya. (zen)