Memahami Roguelike dan Roguelite: Perbedaan Filosofi di Balik Kematian Permanen

Rabu 22-10-2025,20:05 WIB
Reporter : Farida Alviyani
Editor : Farida Alviyani

RAKYATCIREBON.DISWAY.ID - Bisa dibilang, genre game yang paling sering bikin kita mengumpat, tapi juga paling susah dilepas, adalah game-game yang berakar pada sistem kematian permanen. Dalam obrolan sehari-hari komunitas gamer, dua istilah pasti muncul: Roguelike dan Roguelite. Jujur saja, bagi banyak orang, dua kata ini hanya berarti "game yang kalau mati, harus ngulang dari awal."

Tapi tunggu dulu, di balik kemiripan nama dan konsep yang bikin frustrasi itu, tersembunyi perbedaan filosofi desain yang sangat mendasar. Memahami perbedaannya bukan hanya soal istilah, melainkan tentang bagaimana kita memandang arti dari sebuah kegagalan dan progres dalam video game.

BACA JUGA:Mengulas Game dengan Cerita Terbaik Pilihan Gamer Cirebon, Dijamin Baper!

Roguelike: Kemurnian Sebuah Tantangan

Untuk menguak makna Roguelike, kita harus menghormati asal muasalnya, yaitu game Rogue di tahun 1980. Game ini bukan sekadar permainan, melainkan cetak biru.

Filosofi Roguelike sejati sangat keras: ketika karaktermu kalah, itu adalah akhir yang sesungguhnya. Bayangkan, semua item langka, upgrade kekuatan, atau skill yang kamu dapatkan dalam petualangan tersebut langsung hilang, dihapus dari ingatan game. Kamu harus memulai kembali dari awal, kembali ke titik nol tanpa modal material apa pun.

Sistem ini memastikan satu hal: game ini menguji keterampilan murni sang pemain. Satu-satunya yang dibawa dari sesi sebelumnya adalah pengalaman pribadi, pengetahuan tentang pola musuh atau kombinasi strategi yang paling efektif. Dunia permainannya pun dibuat acak (procedural generation) di setiap run, memaksa adaptasi total. Tidak ada jalur yang bisa dihafal. Inilah genre yang menuntut keahlian, bukan grinding tanpa akhir. Secara tradisional, game-game klasik dalam genre ini juga bersifat turn-based (berbasis giliran) dan grid-based (berbasis kotak).

Roguelite: Kematian yang Memberikan Harapan

Lalu muncul Roguelite, subgenre yang terasa seperti Roguelike, tetapi dengan hati yang lebih lunak. Roguelite muncul karena banyak developer ingin menghadirkan tantangan serupa tanpa harus terlalu menghukum pemain.

Intinya tetap sama: Anda mati, dan Anda memulai dari awal. Dunia permainannya juga tetap acak. Tapi, ada satu mekanisme yang mengubah segalanya, yang sering kita sebut Meta-Progression.

BACA JUGA:Game dengan Lore Paling Kompleks dan Dalam: Bikin Pusing tapi Nagih!

Perbedaan di Ujung Kegagalan

Di sinilah letak perbedaan yang paling terasa. Dalam Roguelite, kematian bukanlah pembersihan total. Justru, kematian menjadi mekanisme progres itu sendiri.

Saat Anda kalah, Anda biasanya akan membawa pulang semacam mata uang atau resource khusus yang Anda kumpulkan selama run tersebut. Dana ini tidak hilang. Anda bisa menggunakannya di hub utama (semacam safe zone) untuk membeli peningkatan permanen.

Misalnya, Anda bisa meningkatkan darah maksimum karakter, membuka kunci senjata baru yang lebih kuat untuk run berikutnya, atau mendapatkan buff pasif yang berlaku selamanya.

Singkatnya, Roguelite membiarkan Anda merasa lebih kuat secara bertahap. Setiap kegagalan terasa kurang menyakitkan karena ia berkontribusi pada kemajuan jangka panjang.

Jika Anda stuck, Anda bisa mencoba beberapa run pendek untuk "mengumpulkan modal" dan kembali lebih kuat, memastikan run berikutnya akan sedikit lebih mudah. Karena fleksibilitasnya, Roguelite juga sering digabungkan dengan genre lain, seperti action-platformer atau shooter real-time.

Pilihan Ada di Tangan Kita

Jadi, setelah membedah semuanya, kita tahu bahwa game-game seperti Hades, Dead Cells, atau Slay the Spire, yang sukses besar di pasar, itu secara teknis adalah Roguelite, bukan Roguelike murni. Mereka menawarkan pelukan hangat dari meta-progression setelah setiap kegagalan yang menyakitkan.

Kategori :