RAKYATCIREBON.ID – Kunjungan Wakil Gubernur Jawa Barat, H Uu Ruzhanul Ulum ke Cirebon hanya sebentar. Tidak sampai menghabiskan waktu 24 jam. Tapi, menyisakan konflik. Karena, menyulut perseteruan antara Pemerintah Kota Cirebon dengan Kabupaten Cirebon.
Politisi PPP itu, telah melemparkan isu sensitif berkaitan dengan ketertarikan Pemkot Cirebon mencaplok Pendopo Bupati. Wajar jika Kota Cirebon berniat menguasainya. Karena lokasi yang sangat strategis, berada di pusat kota.
Kini, isu pencaplokan pendopo menjadi perhatian publik. Pemprov semestinya bisa memberikan ketenangan, bukan memperkeruh keadaan. Karena wacana itu sudah muncul sejak beberapa tahun lalu.
Namun seiring berjalannya waktu, isu itu pun surut. Tiba-tiba dimunculkan lagi pada momentum Ramadan, saat semua daerah sangat sibuk mengatasi pandemi Covid-19 yang belum surut.
Budayawan muda Cirebon Raya, Fathan Mubarak menilai, ketika Pemkot dan Pemkab bersitegang untuk kepemilikan pendopo, maka tak kunjung ada penyelesaian.
“Kita bisa mengusulkan, agar pendopo dikembalikan saja ke rakyat kalau memang Pemkot dan Pemkab kelewat cakar-cakaran. Kita lihat saja perkembangannya bagaimana,” tegasnya, Selasa (27/4).
Memang, melihat pendopo, tidak bisa asal bicara. Perlu pemahaman menyeluruh. Karena isunya sangat sensitif.
“Ini dilematis. Pendekatannya bisa sekaligus normatif dan historis. Pantas memang ketika pendopo mau diambil alih pemkot, karena memang lokasinya di situ. Strategis,” katanya.
Tapi di sisi lain, publik agak traumatik. Mengingat pendopo merupakan satu bangunan bersejarah Cirebon. “Dan pemkot punya reputasi panjang, telah menghilangkan sejumlah cagar budaya yang ada di wilayah administrasinya. Yang terbaru kan cagar budaya roil air yang begitu berharga telah hilang dengan begitu rapinya,” tegasnya.
Pegiat budaya Cirebon sekaligus pendiri Kendi Pertula, R Chaidir Susilaningrat menjelaskan kronologis sejarah, bahwa Pendopo, Alun-Alun dan Tajug Agung (Sekarang Masjid Attaqwa, red), dulunya satu kesatuan komplek kabupaten yang baru dipindahkan dari Kebumen ke Kejaksan.
“Itu satu set. Satu komplek. Waktu itu kota belum ada. Karena kota baru ada tahun 1906,” ungkapnya.
Namun, ketika berdirinya Kota Cirebon, ada pembagian aset. Alun-alun Kejaksan dan Tajug Agung diberikan untuk Kota Cirebon. Sementara untuk pendopo, tetap menjadi aset Kabupaten Cirebon.
“Tapi setelah bagi waris, masjid dan alun-alun untuk pemkot dan pendopo tetap untuk kabupaten, maka Tajug Agung Kabupaten berubah nama menjadi Masjid At-Taqwa. Jadi sudahlah tidak usah dipermasalahkan,” terangnya.
Dirinya justru mendorong pelestarian terhadap bangunan itu. Apakah masih dilestarikan atau sudah ditinggalkan? Karena sesuai Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010, bangunan cagar budaya harus tetap dilestarikan.
“Saat ini di Pendopo Bupati telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang itu. Yaitu bentuk pendopo yang sudah berubah dari bentuk asalnya. Contoh, tadinya terdapat dua bangunan, namun kini dijadikan satu,” jelas Chaidir.