Islamisasi di Tanah Galuh

Kamis 12-11-2020,18:48 WIB

RAKYATCIREBON.ID-Saat Pakuan Pajajaran (terletak sekitar Bogor-masa kini) jatuh akibat proses Islamisasi Kesultanan Banten pada 1579, keseimbangan kekuatan politik di wilayah Tatar Sunda menjadi goyah. Hilangnya pemerintahan di Pakuan Pajajaran berarti hilang pula pengaruh Hindu-Buddha di Jawa bagian barat. Islam pun menjadi kekuatan tunggal di tanah Pasundan.

Imbas kejatuhan itu, para penguasa Sunda yang sebelumnya ada di bawah naungan Pakuan Pajajaran kembali terpecah. Mereka mulai membangun pemerintahan di tempat asalnya masing-masing, dengan harapan dapat kembali menghidupkan kekuatan Sunda seperti sedia kala. Seperti yang dilakukan Prabu Cipta Sanghyang di Galuh (1528-1595), putra Prabu Haur Kuning.

Menurut sejarawan Nina H. Lubis dalam Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat, ketika Kesultanan Banten berhasil mengislamkan Pakuan Pajajaran, Kesultanan Cirebon juga bergerak masuk ke wilayah Galuh. Islam pun akhirnya berkembang di sana. Namun itu hanya sebatas kekuasaan di Kawali saja karena Prabu Cipta Sanghyang sempat memindahkan kekuasaannya ke Cimaragas, Ciamis, sehingga Galuh mampu menghindari arus islamisasi dari para ulama Cirebon. Tapi keadaan itu tidak berlangsung lama. Kuatnya pengaruh Islam di Ciamis membuat Galuh perlahan kehilangan tempat berlindung yang aman.

“Islam dikembangkan dari Cirebon ke Galuh melalui Maharaja Kawali,” ungkap sejarawan dari Universitas Padjadjaran itu.

Tim Peneliti Sejarah Galuh dalam Galuh Ciamis dan Tinjauan Sejarah, menyebut jika Islamisasi Kesultanan Cirebon dilakukan melalui jalur perkawinan. Kisahnya dimulai ketika putra mahkota Galuh, Ujang Ngekel, jatuh cinta kepada putri Maharaja Kawali bernama Tanduran di Anjung. Tetapi cinta Ujang Ngekel tidak mendapat restu penguasa Kawali karena ia masih menganut Hindu, sementara Kawali sendiri telah sepenuhnya Islam.

Demi cintanya, Si Putra Mahkota pun bersedia masuk Islam. Melihat kesungguhan itu, Kawali akhirnya meminta Cirebon untuk mengislamkannya. Setelah masuk Islam Ujang Ngekel menikahi Tanduran di Anjung. Namun hal itu belum memberi pengaruh besar terhadap penyebaran Islam di Galuh. Bahkan ketika ia naik takhta, dengan gelar Prabu Galuh Permana, menggantikan Prabu Sanghyang Cipta, Islam belum berkembang. Barulah pada masa Adipati Panakean, putra Prabu Galuh Permana, ajaran Islam mulai tumbuh pesat. Terutama setelah Mataram berhasil merangsak ke Galuh, dan secara luas ke Tatar Sunda.

“Sejak akhir abad ke-16 M, Mataram berupaya menguasai Kerajaan Galuh,” tulis Mumuh Muhsin Z dalam makalah Ciamis atau Galuh, yang disajikan pada seminar sejarah “Menelusuri Nama Daerah Galuh dan Ciamis: Tuntutan dan Harapan”, 12 September 2012 di Ciamis.

Pengaruh kuat Mataram di Galuh semakin terasa pada masa Sultan Agung. Penguasa Galuh ketika itu, Adipati Panakean, diangkat sebagai wedana Mataram. Status pemerintahan Galuh pun menjadi vasal Mataram. Dari hasil penelusuran Tim Peneliti Sejarah Galuh, berdasar sumber-sumber kolonial, didapati batas-batas Kerajaan Galuh yang jatuh ke tangan Mataram, yakni: Sungai Citanduy sebelah timur, perbatasan Sumedang di sebelah utara, Sungai Cijulang di selatan, dan Galunggung serta Sukapura di sebelah barat.

Sebelum masuknya Cirebon dan Mataram, upaya islamisasi di Galuh telah lebih dahulu dilakukan oleh rakyatnya sendiri. Diungkapkan Rokhimin Dahuri dalam Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi di Cirebon upaya itu datang dari putra kedua Raja Galuh, Bratalegawa, yang kemudian mendapat gelar Haji Purwa. Bratalegawa dikenal sebagai seorang saudagar Sunda yang sukses. Ia senang melakukan perjalanan niaga hingga ke luar negeri.

Ketika sedang berdagang di India, Bratalegawa banyak berinteraksi dengan para pedagang Arab yang beragama Islam. Dalam penelitian Nina H. Lubis, dkk, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat disebutkan bahwa lamanya interaksi menjadi sebab Bratalegawa mulai tertarik mengenal lebih dalam Islam. Meski ketika itu Haji Purwa masih menjadi penganut Hindu yang taat.

“Ia diislamkan oleh saudagar Arab yang kebetulan bertemu di India,” tulis Nina.

Bratelegawa kemudian menikahi seorang wanita Muslim dari Gujarat, Farhana binti Muhammad. Keduanya lalu memutuskan pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah kembali, Bratalegawa mengganti namanya menjadi Haji Baharudin al-Jawi. “Oleh karena ia merupakan haji pertama di Galuh, maka ia disebut Haji Purwa (pertama),” ungkap Rokhimin.

Dari Mekah, Haji Purwa bersama keluarganya pergi ke Jawa Barat. Mereka tiba di Galuh pada 1337 M. Dibantu kawan Muslimnya dari Arab, Haji Purwa berusaha mengislamkan para penguasa Galuh, keluarganya sendiri. Namun upaya Haji Purwa itu mengalami kegagalan. Pengaruh Hindu yang masih terlalu kuat di Tatar Sunda membuat ia gagal meyakinkan Galuh untuk beralih menganut Islam.

Setelah gagal mengislamkan Galuh, Haji Purwa memutuskan untuk keluar dari pusat kerajaan. Ia memilih tinggal di Caruban Girang (Cirebon Girang), yang ketika itu masih berada di bawah kekuasaan Galuh. Di sana secara perlahan ia menyebarkan Islam. Penyebaran Islam di Cirebon itu tidak mengalami kesulitan, utamanya di wilayah pesisir, karena penduduk di sana sudah banyak berinteraksi dengan para pedagang Muslim. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait