KOTA Cirebon kehilangan salah satu budayawan sekaligus jurnalis senior, Nurdin M Noer. Rabu malam (30/9), ia menghembuskan napas terakhirnya di salah satu rumah sakit di Kota Cirebon. Jenazah almarhum dikebumikan di TPU Menjangan, Argasunya, Kota Cirebon, Kamis pagi (1/10).
Belakangan diketahui bahwa beberapa waktu terakhir kondisi kesehatan almarhum semakin menurun hingga harus bolak-balik menjalani perawatan di rumah sakit.
Menurut salah satu kerabat Nurdin M Noer, Anwar Effendi, beberapa hari terakhir kondisi kesehatan semakin menurun.
Diagnosa terakhir menyebutkan bahwa almarhum mengidap penyakit komplikasi. “Almarhum sakit. Komplikasi stroke, jantung, dan diabetes. Setahun terakhir sakitnya memang semakin parah,” ungkap Anwar Effendi yang merupakan adik ipar almarhum, kemarin.
Meskipun dalam kondisi demikian, lanjut dia, ada banyak hal dari almarhum yang selalu membuatnya terkagum. Di mana almarhum selalu bersemangat dan selalu hadir ketika diminta untuk menjadi narasumber setiap kegiatan akademik. “Beliau masih bisa jadi narasumber terkait kebudayaan Cirebon. Minta doanya dari semua untuk beliau,” kata Anwar.
Kesedihan atas kepergian Nurdin M Noer tak hanya dirasakan oleh pihak keluarga. Banyak pihak lain yang juga ikut berduka. Akim Garis salah satunya. Wartawan senior yang merupakan anak didik almarhum itu juga merasakan duka mendalam.
Ia pun berbagi kisah tentang kedekatannya dengan almarhum. Sekitar tahun 1987, Akim pertama kali bertemu dengan pria kelahiran Gegesik, Kabupaten Cirebon 8 Maret 1954 tersebut di sebuah Lembaga Pendidikan Wawasan Nusantara di Theater Cirebon. Saat itu Akim mengikuti kursus jurnalistik selama 6 bulan, dan saat itu Nurdin M Noer pertama ia kenal sebagai Dosen Retorika.
Dari situlah ia mulai bergaul dengan almarhum. Banyak ilmu yang diterimanya dari almarhum. Bahkan baginya, Nurdin M Noer bukan hanya guru di dunia jurnalistik, melainkan guru kehidupan yang nyata. Tak hanya guru dalam segala hal, kata Akim, ia juga sudah menganggap sosok Nurdin M Noer sebagai sosok orang tua.
“Saya suka memanggil beliau dengan Guru Besar. Karena tidak hanya mengajari saya ilmu jurnalistik, namun mengajari juga berbagai disiplin ilmu lainnya. Saya sering membaca berbagai buku dan kliping koran serta majalah di rumah kontrakannya yang sekaligus perpustakaan pribadi almarhum di daerah Cangkring,” tutur Akim kepada Rakyat Cirebon.
Salah satu momen yang tak pernah ia lupakan, kenang Akim, adalah saat almarhum pindah rumah. Di mana semua ikut repot, dan yang selalu melekat pada ingatannya, yang membuat repot bukanlah memindahkan barang-barang serta perabot rumah, melainkan semua repot karena begitu banyak buku yang harus dipindahkan.
Beberapa tahun terakhir, kata Akim, setelah kondisi kesehatan almarhum menurun, buku-bukunya seringkali dihibahkan kepada sahabat dan mantan anak buah serta mahasiswa yang pernah mendapatkan bimbingan dari almarhum. Itulah momen-momen terakhir yang bisa ia kenang dengan Nurdin M Noer.
“Almarhum sosok jurnalis, seniman, dan budayawan yang besar melalui otodidak. Nah ketika jatuh sakit buku-bukunya dibagikan. Saya tahu soal itu karena sering berkunjung ke rumahnya sebelum beliau pergi untuk selamanya. Selamat jalan guru besar, terimakasih atas bimbingannya,” ucap Akim.
Tak hanya para jurnalis, para budayawan pun sangat merasa kehilangan. Bahkan Budayawan Cirebon Akbarudin Sucipto mengungkapkan Kota Cirebon kehilangan salah satu kekayaan sejarahnya. “Saya mengenal sosok almarhum Nurdin M Noer sejak masih menjadi wartawan PR Edisi Cirebon 35 tahun yang lalu. Beliau termasuk pribadi yang ngemong dan tidak sungkan-sungkan untuk berbagi pengetahuan atau informasi yang dimilikinya kepada para juniornya,” ungkap Akbar.
Dalam 15 tahun terakhir, kata Akbar, ia bersama teman-teman pemuda di Cirebon dibimbing dan didampingi almarhum agar selalu serius dan tidak lupa dengan nasib Bahasa Cirebon. Pendampingannya dalam merawat Bahasa Cirebon pun berhasil melahirkan Pasanggiri Basa Cirebon di lingkungan pelajar.