Misteri Terbunuhnya Sultan Matangaji

Selasa 30-06-2020,11:53 WIB

RAKYATCIREBON.ID-Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan pajak dengan nilai tinggi kepada rakyat, dinilai sebagai kebijakan yang sangat mencekik, karena saat itu rakyat berada pada kondisi yang miskin dan serba kesulitan.

Kebijakan ini mendapatkan tantangan yang sangat kuat dari rakyat, khususnya kaum santri. Saat itu mulailah terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.

Pergolakan melawan Belanda berkobar di Cirebon, Jawa Barat. Daerah ini memiliki sejarah peperangan yang dramatis dalam perjuangannya melawan pemerintah kolonial Belanda. Puncaknya sejak zaman Sultan Matangaji. Saat itu, Sultan Matangaji memerintahkan khalifah raja untuk membangun pesantren di seluruh kawasan Cirebon seperti Desa Balerante, Pesantren Buntet yang didirikan Mbah Mukoyim, hingga memiliki keturunannya di daerah Gedongan, Benda Kerep. Demikian penuturan Filolog Cirebon, Opan Safari.

“Ada juga Abdullah Lontang Jaya di Majalengka keturunannya di Kempek, Arjawinangun, Winong. Ki Jatira di Ciwaringin yang ada keturunan Pangeran Arya Wijaya Negara,” ujar Opan Safari.

Saat itu, lanjutnya, para santri selain memperdalam ilmu Islam, juga dilatih silat untuk kepentingan melawan penjajahan. Jajaran Kuwu dan bawahan dan rakyatnya juga membentuk pemberontakan di seluruh desa di Cirebon.

Menurut catatan sejarah Cirebon, rintisan perjuangan dimulai dari Sultan Tajul Asikin Amirsena Zainuddin (1753-1773). Saat itu, Sultan Tajul Asikin Amirzena mengawali perlawanan terhadap Belanda. Sultan Asikin Amirsena selalu mengkritisi perjanjian antara sultan-sultan Cirebon dengan Belanda yang intinya merugikan Sultan Cirebon.

“Sultan Amirsena juga yang merintis perjuangan dengan pola gerilya. Merintis pembangunan Gua Sunyaragi, merintis pembangunan Astana Gunung Jati,” ucap Opan.

Namun, setelah Sultan Amirsena meninggal dunia tanpa diketahui perannya oleh Belanda, kekuasaan dilanjutkan kepada anaknya yakni Sultan Muhammad Sofiudin (Matangaji) yang memiliki nama kecil Amir Siddiq (1773-1786).

Sultan Amir Siddiq secara terang-terangan melawan Belanda, melanjutkan pembangunan Gua Sunyaragi yang dilengkapi tempat pembuatan senjata, latihan perang hingga membuat benteng pendem atau bunker.

“Saat itu teknologi Gua Sunyaragi sudah terbilang maju karena memiliki sistem sirkulasi udara, sirkulasi air yang rumit teknologi maju,” imbuh Opan.

“Belanda mengenal Gua Sunyaragi sebagai istana musim panas atau istilahnya tempat dugem (dunia gemerlap) para Sultan dengan haremnya. Padahal sebenarnya memang dirancang untuk perlawanan.”

Namun, di tengah membangun kekuatan melawan Belanda, pembangunan kekuatan di Gua Sunyaragi tercium oleh Belanda, tak lama kemudian Belanda menyerang dan membombardir Gua Sunyaragi.

“Terjadilah perundingan antara Belanda dan Sultan Matangaji. Di tengah perundingan itu Sultan Matangaji membangun pesantren di daerah Sumber untuk membuat perlawanan sehingga terjadi perang gerilya. Santri bisa melawan apabila mereka sudah matang dalam mengaji. Itu yang menjadi asal usul nama Sultan Matangaji karena mengajinya matang,” Opan mengungkapkan.

Dalam perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah sehingga akhirnya menggelar perundingan kembali. Namun, ketika perundingan yang dimediasi oleh pengurus kuda istana bernama Ki Muda terjadi, Sultan Matangaji dikhianati dan Belanda pun menghabisi seluruh pasukan yang dipimpin oleh Sultan Matangaji.

Tags :
Kategori :

Terkait