RAKYATCIREBON.ID-Orang-orang Indonesia mengenal Christian Snouck Hurgronje sebagai mata-mata terpelajar kelas kakap yang membantu pemerintah kolonial untuk melemahkan perlawanan orang-orang Aceh. Ia juga dikenal sebagai penasihat pemerintah kolonial yang memengaruhi kebijakan Hindia Belanda terhadap Islam.
Snouck, yang menguasai bahasa Arab dan tahu isi Alquran, berhasil masuk Mekkah dan mengaku diri sebagai Abdul Ghaffar alias Gopur. Dengan identitas itu dia berkawan dengan Hasan Mustapa (1852-1930), yang meyakini Gopur sebagai saudara seiman.
Dia mendalami Islam sampai ke Jawa Barat dengan membaur dengan kalangan penghulu. Setidaknya, Snouck dua kali kawin dengan perempuan Sunda.
Pertama dengan Sangkana pada 1890, yang melahirkan Salamah Emah, Oemar, Aminah dan Ibrahim. Kedua dengan Siti Sadijah pada 1898, yang melahirkan Raden Joesoef.
Sangkana dan Sadijah adalah anak penghulu. Sangkana anak penghulu dari Ciamis, Raden Haji Muhammad Ta’ib. Sedangkan Sadijah adalah anak dari penghulu Bandung bernama Raden Haji Muhammad Sueb alias Kalipah Apo.
“Perkawinan antara ayah dan ibu saya dilangsungkan pada tahun 1898, ketika ibu baru berusia 13 tahun,” aku Joesoef dalam buku P. Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam: delapan karangan tentang hidup dan karya seorang orientalis zaman kolonial.
Ketika menikah dengan Sadijah, umur Snouck sudah 41. Sementara Sadijah masih di bawah umur kala itu—dia kelahiran 1885. Setelah berusia sekitar 20, barulah Sadijah melahirkan Joesoef.
Waktu Snouck pulang ke negerinya pada 1906, anak bungsunya, Raden Joesoef, baru berumur setahun. Lewat Hasan Mustapa, Snouck meminta keluarga yang ditinggalkannya itu diperhatikan. “Begitu pula permintaanmu supaya saya khusus memperhatikan keadaan Joesoef dan ibunya,” tulis Mustapa pada Snouck dalam surat bertanggal 23 Februari 1911, seperti dikutip Jajang A. Rohmana dalam Informan Sunda Masa Kolonial: Surat-surat Haji Hasan Mustapa untuk C. Snouck Hurgronje dalam Kurun 1894-1923.
Menurut catatan Gunseikanbu dalam Orang-orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa, Raden Joesoef lahir pada 3 Februari 1905. Kira-kira setahun sebelum Snouck pulang ke Belanda. Joesoef seperti kakak tirinya, Oemar. Dalam surat Hasan Mustapa pada Snouck tanggal 29 Maret 1912 disebutkan, Oemar menempuh pendidikan di sekolah pemerintah di Betawi (Jakarta). Sebagai cucu dari penghulu dan kerabat bupati, tidak sulit untuk diterima di sekolah dasar elite pemerintah.
Menurut catatan Gunseikanbu pula, Raden Joesoef pernah bersekolah di sekolah dasar 7 tahun Europeesche Lagere School (ELS) dan sekolah menengah 5 tahun Hogere Burger School (HBS). Namun tak dijelaskan letak sekolahnya. Hanya disebut, Joesoef lulus ELS tahun 1919 dan HBS pada 1925.
Lulusan HBS macam Joesoef sebetulnya bisa kuliah, bahkan hingga ke negeri Belanda. Namun, ada halangan bagi Joesoef hingga dia tak kuliah di universitas atau sekolah tinggi. Dia kemudian masuk Politieschool (sekolah polisi) dan lulus tahun 1927 dengan pangkat komisaris polisi. Pangkat itu cukup tinggi, apalagi bagi polisi bumiputra. Dia pernah menjadi komisaris polisi kelas satu di Jakarta, Surabaya, Cirebon, Pontianak, dan Bandung.
Kemungkinan dia jadi komisaris polisi kelas satu sejak 20 Agustus 1929. Pada 1931, menurut Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie 1931: Tweede Gedeelte Kalender en Personalia, dia berdinas di Surabaya. Tahun 1935, seperti dimuat Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie 1935: Tweede Gedeelte Kalender en Personalia, dia menjadi Kepala Teknis Veldpolitie (Polisi Lapangan) di Cirebon. Tahun 1941, menurut Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie 1941: Eerste Gedeelte Kalender en Personalia, dia bertugas di Pontianak.
Dia tengah berdinas di Bandung jelang runtuhnya Hindia Belanda. Menurut Louise de Jong dalam Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog: Voorspel, Joesoef pernah jadi pengawas dari polisi rahasia kolonial bernama Politike Inlichtingen Dienst (PID) di kota itu.