Dakwah ‘Wayang Kulit’ Kalijaga Gunakan Nama Ki Dalang Sunan Panggung

Rabu 10-06-2020,19:56 WIB

WAYANG kulit Cirebon merupakan sebuah ragam wayang kulit yang ada di nusantara. Berbagai jenis gaya wayang kulit begitu bhinneka ditemui, misalnya wayang kulit Jawa, wayang kulit Narta Bali, dan wayang kulit Sasak Lombok.

Pengaruh agama Hindu dan Budha dari India sangat kuat di kawasan nusantara, beragam kisah yang berasal dari Hindu dan Budha pun lazim di pertunjukan sebagai bagian dari cerita pagelaran wayang kulit, contohnya seperti epik Ramayana dan Maha Bharata.

Perkembangan wayang dari masa Hindu Budha ke masa Islam di nusantara terutama di wilayah pulau Jawa termasuk wilayah Kesultanan Cirebon, sebuah bentuk dari diplomasi dakwah yang dilakukan oleh para ulama dan penguasa lokal yang telah memeluk ajaran Islam.

\"Wayang Cirebon cukup berbeda dengan Wayang Solo, dari struktur cerita, dialog, gamelannya dan juga hubungan dengan penonton. Di sini penontonnya bisa dekat dengan dalang, sering interupsi dan mereka bisa meminta lagu yang mereka sukai,\" kata Matthew Cohen dikutip dari Antara, Rabu (10/6).

Para budayawan Cirebon umumnya sepakat bahwa wayang gaya Cirebon bermula dengan kedatangan Sunan Kalijaga yang membawa kesenian Wayang sebagai alat dakwahnya. Kebanyakan orang Cirebon percaya, sebagai dalang waktu itu, Sunan Kalijaga menggunakan nama Ki Dalang Sunan Panggung. Wali ini pula yang memperkenalkan Suluk Malangsumirang, yang merupakan suluk khas Cirebon.

Sunan Kalijaga mengawali dakwahnya di Desa Kalijaga, Cirebon. Ia mengislamkan penduduk sekitar termasuk Indramayu dan Pamanukan.

Dalam bahasa Cirebon, kata “wayang” memiliki arti bayangan. Kata lain wayang adalah “ringgit” artinya Sunan Giri yang “nganggit”. Maksudnya Sunan Giri yang memikirkan atau mengarang kecuali wayang Gunungan dibuat oleh Sunan Gunungjati. Tokoh wayang dewa yang mempunyai kedudukan tertinggi disebut “Girinata” mempunyai makna Sunan Giri yang menata atau mengatur.

Sedang menurut babad Cerbon yang dikutip Rafan S. Hasyim dalam bukunya Seni Tatah dan Sungging Wayang Kulit Cirebon, sangat jelas disebutkan bahwa  Sunan Kalijaga merupakan pencetus pembuatan Wayang Kulit Cerbon. Dalam babad Cerbon disebutkan

Suhunan Ing Kalijaga anyaosaken kang ringgit, umatur susuhunan Bonang, sumangga didamel kalih, rempug sakhatahing wali, miwah gusti Sunan ratu, Kajoran kinen damela, ken nyitak dados kalih, ingkang kajiyat in Pangeran Kajoran”

“Gelise ingkang carita, ringgit wis cinithak kalih, kajoran wis winastanan, pangeran Kalang reki, wus katur ing para wali, sampun dados sakati, kang dinamela”

“Sawise nganggit gamelan, amangun keramat wali, pasarean ing astana, dinamel kalaning wengi, anuju ing taun alip, ping sadasa riyaya, terape ing bada isa, waktu subuh sampun radin, sigra bubar sakathaning wali sanga”

Dari tiga bait syair, tembang sinom diatas dapat disimpulkan bahwa, Sunan Kalijaga merupakan pencetus pertama pembuatan wayang Cerbon. Pangeran Kajoran orang pertama yang memproduksi wayang cerbon. Tempat pertama kali diadakan pertunjukan wayang Cerbon adalah di Bangsal Pringgitan di depan komplek Astana Nurgiri Ciptarengga pada tanggal 10 Dzulhijah sekitar tahun 1480-an. Atas dasar tersebut, maka dengan kesepakatan pada dalang di Cirebon tanggal 10 Zulhijah ditetapkan sebagai hari Pedalangan Cirebon.

Sunan Kalijaga adalah putra Tumenggung Wilatikta dari Tuban, dalam menyebarkan agama Islam Sunan Kalijaga memadukan adat-istiadat serta budaya yang berkembang pada saat itu dengan ajaran Islam. Budaya sebagai eksistensi agama dan agama sebagai aktualisasi budaya. Oleh karena itu metode syi’ar Islam yang dibawakan oleh para Wali selalu dilambangkan dengan seni budaya agar manusia dapat menghayati agamanya.

Cirebon adalah salah satu tempat terbesar di tanah Jawa, yang merupakan pusat pengembangan budaya wayang kulit, sebagaimana diriwayatkan dalam ” Babad Cirebon”, tentang perjalanan Sunan Kalijaga atau Sunan Panggung sampai turun temurun kepada para dhalang (seniman) di Cirebon.

“Jeng Sunan Cerbon anyumbadani Lokajaya mangun makebonan, sinareng wangun kelampahan Jaya Sampurna, adus saban daluh ing wayang seperteloning wengi. Kasuhur tangga desa, katah sami suhud, Ki Katim murid pembajeng. Antawis dinten Kalijaga medek arsanipun Jeng Susuhunan Cerbon, prapti sampun ing arsa. Ngandika Susuhunan Cerbon, “Kados pundi ingkang sukarya rayi?”. Ngandika Jayeng Kalijaga, “Nuhun Sunedra surananing supena, kala dalu nyupena mundi wulan”. Jeng Sunan uninga sedyanipun, ngandika “Rayi iki bakal pikantuk ganjaran putri Ratna Winaon, putra mami, pinasti jodone lan rayi jum’ah ajeng kadaupaken”. Kalijaga matur Sumangga. Jayeng Kalijaga seba’danipun nikah lajeng jumenang imam lan remen manggung wayang kinarya syi’ar Islam, ngantosa dumugi ing tedak-tedaipun. Jeng Kalijaga kagungan putra jalu ingkang peparap Raden Nurkalam minangka ingkang yuga dados dhalang saturun-turunnipun ing Cerbon”.

Tags :
Kategori :

Terkait