Sikap Isteri Sedar yang menentang pidato Ratna Sari sebenarnya sudah bisa tercium sejak sebelum kongres kedua. Pada Kongres Perempuan pertama, sikap serupa sudah pernah datang dari kelompok perempuan terpelajar seperti Siti Soendari dan barisan Wanita Khatolik, meskipun tidak seriuh apa yang dilakukan Isteri Sedar.
Hasim Adnan dalam “Membungkam Deru Bising Drumband di Bumi Prihiyangan” yang disunting Budi Susanto ke dalam Sisi Senyap Politik Bising (2007: 51) pernah menyebut Isteri Sedar sebagai gerakan perempuan paling progresif sebelum Kemerdekaan, bahkan bisa dibilang paling galak. Dibandingkan organisasi-organisasi dalam Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang dibentuk selepas Kongres Perempuan pertama, Isteri Sedar satu-satunya yang paling keras menuntut perubahan mendasar tanpa kompromi.
“Kami dari Isteri Indonesia lebih dapat mengakomodasi pendapat kaum perempuan Islam daripada Isteri Sedar. Saya sendiri juga menghendaki monogami, tetapi saya tidak ingin menentang pendirian perempuan Islam,” kata Maria Ulfah, kembali mengutip Wieringa.
Akibat perbedaan ideologi, sejak semula Isteri Sedar memang menolak bergabung dengan PPII. Mereka tidak percaya kepada perbedaan agama dan minat sosial yang terdapat dalam federasi. Bagi Isteri Sedar, bekerjasama dengan sayap perempuan organisasi Islam justru dianggap dapat melemahkan sikap anti-poligami yang sedari awal menjadi dasar organisasi, sebagaimana diutarakan Elizabeth Martyn dalam The Women\'s Movement in Postcolonial Indonesia: Gender and Nation in a New Democracy (2004: 42).
Menurut penelusuran Barbara Hatley dan Susan Blackburn yang tersari dalam makalah “Representations of Women’s Roles in Household and Society in Indonesian Women’s Writing of the 1930s,” sejak Agustus 1930, Isteri Sedar sudah mulai konsisten mempublikasikan pemikiran-pemikiran para anggotanya melalui majalah Sedar yang terbit di Jakarta.
Makalah yang disunting Marleen Nolten dan Janet Rodenburg ke dalam Women and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices (2000: 48) itu menyebutkan bahwa dari sekian banyak publikasi Isteri Sedar, di antaranya terdapat kritikan buat organisasi-organisasi perempuan lain yang hanya mengarahkan para anggotanya untuk menjadi ibu rumah tangga yang sempurna.
“Jika perempuan diajar berpikir bahwa perkawinan itu tujuan hidupnya dan pekerjaan rumah tangga itu hanya menjadi tanggung jawabnya, maka mereka itu tidak dididik bekerja secara cerdas dengan otak dan tubuhnya. Mendidik bekerja dengan cerdas akan memberikan [mereka] senjata untuk meraih kebebasan ekonomi,” tutur Suwarni seperti dikutip dari Wieringa.
Penelusuran Wieringa menyebut Suwarni banyak belajar dan membaca Charlotte Perkins-Stetson, feminis Amerika yang juga seorang penulis novel. Dari sanalah, Suwarni yakin bahwa wawasan kebanyakan organisasi perempuan Indonesia sebelum Kemerdekaan masih sangat sempit karena hanya berkenan mendiskusikan masalah rumah tangga. Akibatnya, Isteri Sedar berulang kali mencela PPII yang dianggap tidak lebih dari perkumpulan istri bangsawan dan putri keluarga menak.
Bagi Isteri Sedar, kemerdekaan perempuan berkaitan pula dengan kemerdekaan bangsanya. Sejak tahun 1932, Suwarni Pringgodigdo sudah memamerkan rambu-rambu agar perempuan bergabung ke dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Suwarni banyak mengutip Bung Karno dan menggunakan istilah perempuan marheinis untuk menyebut anggota Isteri Sedar.
Pada 4 Juni 1950, Isteri Sedar memutuskan untuk melebur diri ke dalam organisasi Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), yang kemudian berubah nama menjadi Gerwani. Cita-cita Isteri Sedar untuk membawa perempuan terlibat dalam usaha mencapai gerakan nasional kemudian dimulai dari titik ini. (*)