Kisah Tiga Perempuan asal Indonesia di Tengah Pertambangan Australia Barat

Minggu 08-03-2020,06:45 WIB

Menurutnya kepercayaan diri kini telah menjadi masalah bagi banyak perempuan muda, karena mereka sering membandingkannya dengan orang lain, termasuk untuk mendefinisikan arti kecantikan.

Seringkali yang disebut cantik adalah perempuan berkulit putih, bermata biru, berambut pirang, atau terlihat seperti perempuan-perempuan yang ada di majalah-majalah fashion.

\"Jika kita ingin seperti mereka, lalu kapan kita bisa menjadi diri sendiri? ujar Marlyn kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.

\"Kecantikan bagi saya adalah cara pandang terhadap diri sendiri, bukan menurut apa yang orang lain pikirkan tentang kita,\" tambahnya.

\"Kecantikan adalah di hati, bukan dinilai dari wajah.\"

Berurusan dengan rekan-rekan kerja pria, khususnya di industri pertambangan, tentunya bukan hal mudah, karenanya Marlyn mengatakan butuh \"strategi yang lebih cerdas\".

\"Kebanyakan pria memiliki ego yang lebih besar, jadi kita tidak bisa memberitahu langsung apa yang harus mereka kerjakan, harus menemukan caranya,\" ujarnya yang berstatus sebagai seorang istri.

Marlyn mendukung lebih banyak perempuan untuk bisa berani bekerja di bidang pertambangan dan konstruksi di Australia, karena menurutnya \"perempuan dibutuhkan karena lebih fokus pada hal-hal yang detail dan lebih berhati-hati\".

Jelita Sidabutar adalah seorang \'Project Geologist\' di perusahaan Seequent yang berbasis di kota Perth, Australia Barat.

Jelita mengaku sudah banyak melihat perempuan-perempuan yang bekerja di sektor pertambangan dan tetap sukses sebagai istri dan ibu. (Koleksi pribadi)

Setelah lulus dari bidang ilmu geologi di Universitas Padjajaran Bandung, Jelita pernah bekerja sebagai ahli geologi di PT Nusa Halmahera Minerals di Indonesia.

Sebagai seorang ahli geologi, Jelita bertanggung jawab dengan melakuan pemetaan dan memperkirakan simpanan mineral, serta menafsirkan data geologi, untuk kemudian memberi saran soal rencana produksi tambang.

Sebuah pekerjaan yang sangat membutuhkan kekuatan fisik, menurutnya, karena juga kadang ia harus mengangkat peralatan berat ke lapangan.

Tapi Jelita mengaku tantangan terbesarnya sebagai seorang perempuan bekerja di pertambangan Australia adalah justru datang dari luar.

Seringkali perempuan asal Pulau Samosir, Sumatera Utara ini mendapatkan \"komentar-komentar negatif\" sebagai seorang istri dan ibu yang kerja di lokasi pertambangan.

Seperti kebanyakan pekerja pertambangan, ia setidaknya bekerja di lapangan setidaknya selama dua minggu.

\"Seringkali saya dihakimi terlalu mengejar karir dengan pergi ke lokasi tambang, yang terpencil, ketimbang mengurus keluarga,\" katanya kepada ABC Indonesia.

Tags :
Kategori :

Terkait