Cucu Saidah: Percikkan Semangat Diri bagi Sesama

Jumat 06-03-2020,01:29 WIB

PADA 30 November 2008, Cucu Saidah yang saat itu aktif di Handicap Surakarta dengan Faisal Rusdi, pelukis yang menggunakan mulut, menikah. Meski tanpa kehadiran orang tua dan keluarga besarnya, Cucu tetap bahagia. Gores kebahagiaan mereka, ia tunjukkan kepada Jurnal Perempuan yang menyambangi kediamannya tepat di Hari Raya Idul Adha akhir November 2009  yang  lalu. Foto pernikahan, film dokumenter tentang aktivitas mereka, turut menggenapi kekosongan ruang itu.

Pada tahun 1998, Cucu Saidah yang baru menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Persada Indonesia, Bandung melakukan sesuatu yang berani. Ia berupaya menularkan apa yang telah dipelajarinya dengan menjadi guru honorer di Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC). Tekadnya untuk berbagi dan meningkatkan kesadaran kepada sesama difabel tak surut oleh honor yang hanya sebesar Rp80.000 per bulan kala itu. Genap empat tahun ia mengabdikan ilmunya, Cucu mendapat kesempatan mengikuti pelatihan kepemimpinan difabel se-Asia Pasifik di Jepang. “Di pelatihan itu kita diperkenalkan dengan sistemnya, perjuangan, dan pergerakan mereka hingga bisa mendapat layanandari pemerintah. Kalau di Indonesia, jangan dibandingkan lah.

Ketika Cucu memulai pelatihan di negeri Sakura, banyak hal menjadi proses titik balik baginya. Aktivitas selama sepuluh hari menginap di Centre Independent Living (serupa LSM di Jepang-red) menjadi arena menempa mental dan kesadaran dirinya. “Ada satu staf di sana yang cacatnya lebih parah dari Faisal (suami Cucu). Ia Cerebral Palsy (gangguan pada otak kecil yang mengakibatkan gangguan motorik dari leher ke bawah) berat. Bicara pun ndak jelas, makan dengan nasi tim dan disuapi. Padahal, usianya sudah 40 tahunan,” kata Cucu. Walhasil, setiap hari Cucu harus makan bersama dengan peserta lain termasuk staf itu. Meja bundar menjadi salah satu media interaksi dan komunikasi dalam pelatihan tersebut. “Jadi, kemana-mana pasti ketemu muka. Makananku selalu tak habis. Dan kalau ditanya aku selalu bilang ndak lapar.”

Sambil memotong semangka sebagai suguhan, Cucu kembali menuturkan pengalamannya selama pelatihan di Jepang. “Satu dua hari hilang nafsu makanku dan guruku (dengan pendekatan peer conseling) mendekatiku. Dia membaca kalau aku ndak biasa dan belum terbiasa dengan meja bundar itu,” kata Cucu.

Yayasan Talenta Surakarta menggunakan metode pemahaman karakter diri dengan menggambar orang. Beberapa psikolog melakukan tes dengan gambar THP (Tree, Home, People) untuk mengetahui karakter seseorang. Sementara itu, sebuah Center Independent Living di Jepang menggunakan meja bundar sebagai alat bantu untuk mengenali tingkat hegemoni kenormalan seseorang.

Selama berjam-jam Cucu berbincang dengan salah seorang peer conseling   di sana. Pertanyaan mendalam tentang pemahaman diri, seperti apa hakikat kita menjadi manusia, kenapa kita dilahirkan, apa hakikat kita sebagai makhluk sosial, hingga bagaimana seandainya kalau kita yang duduk di kursi roda itu, menyesaki rongga kesadaran Cucu. “Jadi, lama-lama aku mikir, iya, ya, bagaimana pun kita, warna apa pun, kita manusia, sama.”

Hari berikutnya sudah bisa ditebak, Cucu mulai menyapa dan bertatap muka dengan staf tersebut. Cucu pun mulai menikmati hidangan yang disuguhkan di pelatihan itu. “Meski semeja sama dia, tapi aku ndak melihat ke arah dia.” Esoknya, ia mulai menyapa staf itu, “Konichiwa.” Ia menyambut dengan bahagia (konichiwa). “Di situ, saya kembali berpikir, bagaimana pun kita bersaudara,” kata Cucu.

Beragam kegiatan Cucu ikuti di sana, termasuk pembangunan karakter diri melalui peer conseling. “Bagaimana kita bertindak sebagai pemimpin, bukan pemimpin sebuah lembaga, organisasi atau institusi, tapi bagaimana kita bisa memimpin diri kita sendiri,” ungkap Cucu. “Seorang pemimpin yang baik itu seperti apa? Yang paling penting, punya hati,” jelasnya. Cucu menjelaskan bahwa hakikat manusia harus bisa membawa diri sendiri lebih dulu untuk menjadi seperti apa. Sebaliknya jika manusia menjadi sosok yang palsu, maka ia tak akan pernah bisa menemukan dirinya. “Artinya, kalau hanya palsu, tapi diri kita sendiri tidak tahu mau dibawa kemana, ya, tidak bisa jadi diri sendiri.”

Pada tahun 2003 ketika Cucu kembali ke Indonesia, rasa kaget menyergapnya. “Di sana dengan bebasnya aku bisa ke mana-mana dengan kursi roda elektrik. Aku bisa kemana pun, mulai dari ke penginapan sampai naik kereta, aku bebas. Sampai di sini aku terbentur lagi dengan pelayanan publik yang ada,” kata Cucu.

Rendahnya akses publik di Indonesia tak mematahkan semangat Cucu untuk bergerak dan berbagi konsep dengan sesamanya.  Segala  yang  Cucu  peroleh dari perjalanannya ke negeri Sakura tak sia-sia. Ia pun menjadi leader di antara sesama teman difabel di Bandung, tempat ia menghabiskan masa kecil hingga dewasa melalui diskusi demi diskusi. Ia memulai berbincang dengan sesama difabel semasa di SLB (Sekolah Luar Biasa) hingga membentuk barisan volunter bersama beberapa mahasiswa di Bandung. “Mulailah aku berbagi tentang konsep independent living itu seperti apa, lewat peer conseling dan peer support.” Hingga pada tahun 2005, Cucu, Faisal Rusli, dan beberapa difabel lain membentuk komunitas bernama BILIC (Bandung Independent Living Centre).

Keduanya tak keberatan ketika Jurnal Perempuan mengutarakan maksud hendak berbincang tentang mereka berdua. Di sela perbincangan, sesekali tampak Cucu memandangi Faisal suaminya yang tengah serius menyimak perbincangan kami. Mereka pasangan difabel yang sungguh mandiri. Mereka berteman sejak di  SLB. Cucu di SLB D dan Faisal di SLB D1. Kepada Jurnal Perempuan Cucu menjelaskan, SLB D diperuntukkan bagi mereka yang dikatakan tidak mengalami gangguan intelektual, tetapi hanya fisik, misalnya polio. Perlakuan guru juga hampir sama seperti di sekolah biasa. Sementara, SLB D1 justru yang lebih banyak mendapatkan diskriminasi. “Kalau yang D1 seperti suami saya, sering mendapatkan diskriminasi. Karena secara fisik ndak berfungsi, maka dianggapnya intelektual juga tergangggu, padahal tidak,” ungkap Cucu.

Cucu memang tak mendapatkan diskriminasi langsung selama di SLB. Namun, itu tidak mengurung sensitivitasnya menyaksikan diskriminasi yang dialami teman-temannya, hal yang makin jelas ia lihat saat bergabung mengajar  di  YPAC. “Perlakuan guru-guru di SLB banyak yang tidak manusiawi. Anak-anaknya lebih banyak digoblok-goblokin. Dianggapnya mereka mempunyai gangguan intelektual sehingga perlakuannya tidak disesuaikan dengan usianya. Misalnya, usia sebenarnya 15 tahun tapi masih diperlakukan kayak anak-anak usia 5 tahun. Ketika menjadi honorer di YPAC, aku lebih banyak dekat dengan remaja (SMP— SMA) karena pendekatanku lebih banyak pendekatan teman daripada guru dan murid. Dan, aku menyaksikan teman-teman diperlakukan seperti anak kecil. Itu yang membuat aku miris.”

“Aku cacat dari lahir,” kata Cucu. Meski mitos seputar kelahirannya menjadi gunjingan tetangga, Cucu bersyukur karena orang tuanya bukan orang yang percaya akan hal itu. “Kakakku sering cerita kalau kelahiranku sempat jadi cemoohan. Bahkan, dari saudara dekat juga sempat mencemooh. ‘Mungkin karena bapaknya terlalu galak,’ terus anak cacat mau jadi apa?”

Ketika Cucu menuturkan kisahnya, ia tampak terharu. Ia ungkapkan perasaan bangga kepada orang tuanya yang tidak menyembunyikan kehadirannya. “Justru mereka mencoba agar anaknya yang bungsu ini harus seperti orang lain, seperti kakak-kakakku yang lain. Mereka berpikir bahwa anak-anaknya harus sekolah. Karena orang tua ndak bisa membekali anak-anaknya dengan materi, tapi ilmu.” Kendati begitu, Cucu sadar benar jika orang tua dan keluarga pasti mengalami proses untuk berbesar hati menerima kehadirannya di tengah keluarganya.

Tags :
Kategori :

Terkait