Cucu Saidah: Percikkan Semangat Diri bagi Sesama

Jumat 06-03-2020,01:29 WIB

Sungguh beruntung Cucu terlahir dari orang tua yang sangat mengasihinya.  Ia mengenyam pendidikan dasarnya di SLB di Bandung sejak SD umum di Garut (tempat kelahirannya) enggan menerima Cucu. Usianya baru lima tahun saat orang tuanya meminta Cucu tinggal bersama kakaknya yang tengah merampungkan kuliah di Bandung. Seminggu sekali orang tuanya berkunjung.  “Sedih  juga  kalau mengingat itu. Negatifnya, aku dijauhkan dari orang tua saat usia kanak. Positifnya, aku menjadi orang, menjadi diriku sendiri. Kebayang kalau orang tuaku menyembunyikanku. Mungkin aku akan ngesot-ngesot di rumah.” Tak jauh berbeda dengan orang lain, Cucu pun berhasil menuntaskan pendidikannya hingga S1, jenjang pendidikan yang masih sangat jarang di daerah asalnya, Garut. Kini ia pun bisa menunjukkan bahwa dirinya juga bekerja layaknya orang “normal.” Suatu hari, ketika ia memutuskan untuk menikah dengan Faisal Rusdi, orang tua dan keluarganya menolak keputusannya; menolak Cucu menikah dengan Faisal yang kondisinya lebih “berat” dari Cucu. Bagi Cucu, hal ini mungkin membangkitkan luka lama orang tuanya. Luka lama bagaimana keluarga dan orang tua dicemooh tetangga dan saudara. Luka lama tentang bagaimana orang tuanya berjuang menerima kehadiran Cucu di tengah keluarga. Berkat perjuangan, kesabaran, dan ketekunan keduanya meyakinkan orang tua, kini orang tua menerima apa pun pilihan dan keputusan Cucu.

Tak  banyak  difabel—apalagi  perempuan   difabel—yang   seberuntung  Cucu; mendapat kesempatan pendidikan hingga memperoleh ruang untuk mengaktualisasikan diri melalui pekerjaan. “Secara umum, perempuan difabel akan menerima perlakuan diskriminasi ganda. Kalau secara personal, di zaman sekolah di SLB, mungkin aku juga pernah mengalami, tapi karena aku masih kecil jadi belum menyadari.” Ia mengatakan, dalam rumah tangga pun, suaminya begitu menghormati. Kedudukan mereka setara. “Memang suamiku difabel, tapi dalam kehidupan, menuangkan cinta, mengambil keputusan, dan sebagainya, kita selalu berkomunikasi. Justru suamiku lebih bisa memahami aku.”

Meski demikian, pengalaman tidak menyenangkan bukannya tak ada. Waktu SMA ketika Cucu hendak naik ke angkutan umum, ia dianggap tidak bisa naik sendiri. “Terus aku dipegang bagian belakangnya. Aku bilang, eh, jangan pegang- pegang. Dia bilang, kan, mau nolong. Yatapi tanya dulu, dong, jawabku,” begitu cerita Cucu.

Berbincang tentang fasilitas publik yang ada di negeri ini seperti menegakkan benang basah. Fakta tersebut menjadikan Cucu enggan menggunakan kursi roda, apalagi sejak kecil Cucu merasa lebih nyaman menggunakan kruk dibanding kursi roda, hanya pada saat-saat tertentu ia menggunakan kursi roda. “Semua pelayanan publik memang bermasalah. Misalnya, orang yang mau menolong, tidak tahu gimana cara menolongnya. Jadi, aku suka gereget melihatnya. Harusnya, mereka tanya dulu bagaimana kenyamanan si difabelnya.” Pengalaman lain yang Cucu alami adalah menghadapi layanan di bandara. Ia menjelaskan bahwa kebijakan bandara kini justru makin memarginalkan difabel. Begitu juga perempuan hamil dan orang sakit, harus lebih dulu menyerahkan surat keterangan dokter. Khusus penumpang domestik yang memerlukan asistensi, mereka  (pihak  bandara-red)  menetapkan  bahwa  asistensi  disepakati dalam selembar kertas bermaterai Rp6000 yang harus ditandatangani oleh penumpang. Kertas tersebut menyatakan bahwa penumpang itu sakit dan maskapai tidak bertanggung jawab jika terjadi apa-apa. “Jadi, dianggapnya kita ini penghambat. Misalnya terjadi apa-apa, kita bukan orang yang pertama ditolong.” Atas daya kritis Cucu terhadap kebijakan bandara, sering kali ia harus terbentur dengan persoalan tersebut ketika hendak melakukan perjalanan. Bahkan, akibat soal surat asistensi itu, ia pernah membuat Garuda menunda penerbangannya selama satu jam.

Pada tahun 2007, Cucu dan lima orang temannya dari tim IDPs Norwegia hendak ke Yogyakarta. Ia satu-satunya difabel dalam rombongan tersebut. Karena ia enggan menandatangani surat asistensi, pihak Garuda mendatangkan  pilot dan sekretaris general manager Garuda. Atas dalih kebijakan, pihak Garuda tetap tak mengizinkan Cucu untuk terbang. Walhasil, datanglah seorang penumpang yang juga terlambat. “Kalau enggak salah, dia dari Komnas HAM atau staf dari kepresidenan, saya lupa. Dia bilang, ‘Anda bayangkan kalau ini terjadi pada ibu Anda. Ibu Anda harus melakukan perjalanan dan tidak diperbolehkan.’ Pihak Garuda tetap ngeyel, ini peraturan. Dan, bapak itu berkata, ‘Kalau ibu ini tetap tidak diperbolehkan, saya akan lapor presiden saat ini juga.’ Akhirnya, kita bisa melenggang melewati orang-orang yang sudah duduk enak di kelas bisnis.”

“Di hampir seluruh bandara di Indonesia, kecuali Solo dan Yogyakarta. Lagi-lagi karena masalah surat, sampai aku dibilang orang gila oleh staf Adam Air waktu itu. Jadi, saya pikir, kebijakan bandara itu (surat asistensi-red) berlaku untuk semua. Tapi, banyak difabel yang belum menyadari. Jadi, ketika disodorkan kertas mereka tanda tangan saja.”

Masih berkaitan dengan kebijakan bandara, Cucu juga pernah protes karena saat ia dan dua temannya dari Jepang serta tiga volunter sebagai pendamping tiba di bandara Surabaya, pihak bandara malah mendatangkan ambulans di luar pesawat, bukannya kursi roda.

Cucu bercerita, “Berbicara fasilitas publik, sangat menyedihkan. Waktu ngurus pembuatan SIM, dipanggil nama, Cucu Saidah, polisinya malah ngelihatin dari atas ke bawah.

‘Ibu mau bikin SIM?’

‘Ya, iya, Pak, masa mau minta sumbangan.’ ‘Oh… SIM apa, Bu? Ibu bisa nyetir?’

‘Ya, lagi belajar, Pak.’ ‘Mobilnya ada?’

‘Pak, kalau saya ndak punya mobil, tentu saya ndak bikin SIM.’”

Sejak Cucu memutuskan untuk pindah dan menetap di Solo, pengalaman tak lantas selesai. Meski konon Solo kerap dianggap sebagai kota yang ramah bagi difabel, nyatanya Cucu sering kali dianggap sebagai penghuni RC (Rumah Cacat, nama lain dari BBRSBD-Balai Besar Rehabilitasi Sosiali Bina Daksa). “Ceritanya kita belanja ke mal, lalu ketemu seorang ibu dan bertanya,‘Dari RC, ya?’

Enggak, saya dari Bandung.’

‘Baru masuk ke RC? Sekolah atau kerja?’ ‘Enggak, saya kerja.’

‘Kerja di mana, di RC?’

Tags :
Kategori :

Terkait