Mengenang Ratna Indraswari Ibrahim: Menulis Cerpen, Mengabarkan Kenyataan

Rabu 04-03-2020,10:21 WIB

Suatu kali, ibunya pernah mengatakan, “Perempuan itu jangan ngobrol saja, perempuan itu harus menulis, menulis apa saja. karena dengan menulis, ia dapat menemukan dirinya,” ujar Ratna mengutip kata-kata sang Ibu. Tampaknya, ucapan tersebut dipegang teguh oleh Ratna, bahkan hingga kini. Pada tahun 1975, cerpen pertama Ratna berjudul “Jam” dimuat dalam sebuah majalah remaja MIDI. Sejak saat itu, Ratna semakin memantapkan hati, jiwa, dan pikirannya untuk menulis.

Dalam kesehariannya, aktivitas Ratna cukup sederhana, yakni membaca, menulis, berdiskusi, dan berorganisasi. Beberapa waktu memang Ratna harus keluar rumah untuk mendatangi sejumlah seminar, baik tentang politik, sosial, maupun budaya. Ratna aktif menghadiri seminar-seminar, baik sebagai peserta maupun pembicara. Bagi Ratna, tidak ada kerugian apa pun untuk mendatangi seminar, malah menambah wawasan.

Tidak jarang pula Ratna bergabung  bersama teman-temannya untuk turun  ke jalan memprotes sejumlah kebijakan pemerintah daerah yang menyangkut  isu kebudayaan, perempuan, lingkungan, dan aksesibilitas bagi difabel. Ia juga kerap hadir untuk memberi dukungan pada sejumlah aksi mahasiswa, seperti aksi mogok makan yang dilakukan mahasiswa untuk memprotes kebijakan pemerintah daerah. Ratna memang tidak bisa bergabung terus-menerus, tetapi kehadirannya mampu menambah dukungan moral.

Solidaritasnya yang tinggi membuat Ratna dikenal hampir di semua kalangan. Hal ini tampaknya berpengaruh bagi kehidupan Ratna. Hidupnya tak pernah sepi. Dalam keseharian, ia terus menciptakan arus bagi setiap aktivis LSM, mahasiswa, budayawan, wartawan, para difabel, birokrat, pendidik, dan elemen masyarakat lainnya. Rumahnya di Jalan Diponegoro 3, Malang tak pernah sepi dari kehadiran seorang teman, masyarakat biasa, hingga sejumlah tokoh besar, seperti budayawan dan politisi. Ratna tidak pernah membeda-bedakan siapa saja yang datang ke rumahnya. Kehadiran rekan-rekannya merupakan spirit baru bagi Ratna untuk semakin memahami kehidupan. Mereka banyak membantu, menjadikan Ratna kuat dan percaya diri.

Di rumahnya, di atas kursi roda, ia mendengar banyak cerita dan keluhan tentang ketidakadilan sosial. Cerita-cerita inilah yang kerap kali menjadi ide bagi setiap cerpen-cerpennya yang hampir selalu berangkat dari kenyataan sosial. Dengan sabar Ratna mendengarkan cerita yang kadang kala cukup menyesakkan dadanya. Setiap cerita kehidupan itu selalu melahirkan korban. Ratna sendiri menyebut teman-temannya sebagai “kunang-kunang”, penerangan bagi dirinya. Ratna senantiasa mengikat komitmen dengan setiap temannya dan menjaga komitmen itu. Inilah yang membuat setiap orang memiliki komitmennya sendiri dengan Ratna.

Ratna mempunyai kegemaran membaca sejak kecil. Sewaktu SMA ia telah membaca sejumlah buku “berat” untuk dibaca anak seusianya, seperti buku karangan Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi dan bacaan-bacaan Marxis. Kebiasaan membacanya ini mengajarkan Ratnapada banyak haltentang kehidupan. Kebiasaan membaca inilah yang menjadi teman hidupnya sehari-hari. Koleksi buku Ratna banyak, hampir setiap ada buku baru ia beli. Teman- temannya selalu menginformasikan adanya buku baru atau buku bagus. Ia lalu menitip temannya untuk membelikan karena ia sadar, mobilitasnya terbatas. Ditambah pula, sejak ibunya meninggal, praktis Ratna menjalani hidupnya seorang diri. Ia hanya ditemani tiga temannya yang siap membantu Ratna menjalani aktivitas sehari-hari, mulai dari makan, mandi, ke toko buku, menghadiri seminar, sampai mengetikkan makalah atau naskah cerpennya.

Ratna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan honor menulis cerpen, juga pembayaran sewa kamar-kamar di rumahnya yang diindekoskan. Meskipun saudara-saudaranya sedia membantu, namun bukanlah Ratna bila tidak bisa mandiri. Ia harus belajar bertanggung jawab atas dirinya sendiri, untungnya keluarga Ratna bisa memahami hal itu. Dengan penghasilan terbatas, ia menyuguhkan secangkir kopi dan sepiring makanan kecil untuk teman-temannya yang datang ke rumahnya yang selalu terbuka. “Silakan mau makan, berdiskusi, menginap, atau apa saja selama saya bisa membantu, saya akan bantu, asalkan mau dengan kesederhanaan,” kata Ratna yang pernah menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi di Universitas Brawijaya ini namun mengundurkan diri.

Dalam menulis cerpen, ia tidak selalu meminta bantuan temannya untuk mengetikkan. Terkadang Ratna juga menuliskan naskah cerpennya sendiri, ia hanya minta disiapkan komputer di depan kursi rodanya. Dengan sepasang sumpit sebagai “tangannya”, Ratna menekan tombol huruf pada keyboard komputer secara perlahan dan penuh kesabaran. Cukup lama waktu yang dibutuhkan Ratna untuk mengetik satu kata menjadi kalimat lalu paragraf, apalagi sebuah cerpen. Setiap tombol yang ditekan membutuhkan waktu kurang lebih setengah menit, maka ia membutuhkan waktu berjam-jam untuk sebuah cerpen. Apakah ini menjadi hambatan? Tidak, justru di situlah pergulatan batinnya terjadi hingga mampu memberikan jiwa pada setiap karyanya. Dengan kesabaran, ketekunan, dan komitmen, Ratna tidak saja produktif menghasilkan cerpen, tetapi juga menghasilkan cerpen yang tajam.

Selain menjadi cerpenis lepas, Ratna juga menjadi aktivis sosial dengan menjadi salah satu pendiri Yayasan Entropic, sebuah yayasan yang peduli pada isu lingkungan hidup. Bagi Ratna, alam memberikan kehidupan bagi manusia. Sungguh suatu kebiadaban bila alam harus dirusak oleh kelompok-kelompok yang mementingkan dirinya sendiri. Dari alam pun Ratna mengahasilkan sejumlah cerpen yang membela kelestarian lingkungan hidup.

Pada tahun 1998, Ratna mendirikan Yayasan Pajoeng dan menjadi koordinator litbang di sana. Yayasan Pajoeng adalahsebuahyayasanyang bergerak dalam bidang pengembangan kebudayaan di Kota Malang. Kebudayaan, menurut Ratna, adalah sumber peradaban. Sebuah bangsa menjadi kurang beradab ketika kehilangan akar kebudayaannya karena setiap kehidupan merupakan refleksi kebudayaanya. Ratna juga menjadi pionir bagi perkumpulan aktivis dari berbagai elemen di Kota Malang yang tergabung dalam Forum Pelangi. Komunitas diskusi ini aktif melakukan kajian dan tukar informasi antarelemen masyarakat di Kota Malang. Ratna dan teman-temannya di Malang juga membidani lahirnya Jurnal Naraswari yang memfokuskan isinya pada isu perempuan dan kesetaraan gender. Media ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk memahami sejumlahketidakadilan gender yang terjadi di sekitarnya.

Kepedulian Ratna terhadap persoalan perempuan bukanlah hal baru. Pada tahun 1995, Ratna pernah menjadi delegasi Indonesia pada Kongres Perempuan Internasional di Beijing, China. Pada tahun 1997, Ratna juga menghadiri Kongres Perempuan Sedunia di Washington DC, USA. Pada tahun 1993, pemerintah Indonesia memberinya penghargaan sebagai Perempuan Berprestasi. Dalam soal belajar, ia tidak akan pernah berhenti, “Belajar itu tidak pandang usia dan kapan pun,” demikian tuturnya. Itulah kebanggaan Ratna ketika mengikuti pelatihan kepemimpinan MIUSA (Mobility International United Statesdi Eugene, Orengon, USA pada tahun 1997.

Mengabarkan Kenyataan Lewat Cerpen

Ratna sendiri sudah lupa sudah berapa banyak cerpen yang dilahirkannya. Yang  jelas,  Namanya  Massa  (Yogyakarta:  Penerbit  LKis,  2000)  adalah judul buku kedua kumpulan cerpennya. Kehadiran buku tersebut menjadi tonggak ketekunannya selama 25 tahun menggeluti dunia sastra. Sebelumnya, Ratna juga pernah melahirkan kumpulan cerpen berjudul Menjelang Pagi (1995) dan yang terbaru adalah buku kumpulan cerpennya yang ketiga berjudul Lakon di Kota Kecil (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002). Ketiga buku tersebut hanya berisi reproduksi ulang cerpen-cerpen Ratna yang pernah dimuat di media massa, namun itu bukan berarti sebuah ide dan intelektualitas hanya terukur dari kuantitas karya. Ratna adalah orang yang sangat menghormati proses.

Memahami proses adalah memahami persoalan secara lebih substansi dan mendalam. Ia lebih senang orang mengenalnya secara proses, bukan sebagai Ratna yang sekarang ini. Konsistensinya pada proses telah melahirkan cerpen-cerpen yang cerdas. Kompas sebagai koran nasional hampir tak pernah meluputkan nama Ratna dalam setiap penerbitan buku kumpulan cerpen pilihan Kompas. Salah satu karya Ratna adalah “Bunga Kopi” yang terdapat dalam kumpulan Cerpen Pilihan Kompas Tahun 2007.

Cerpen-cerpen Ratna senantiasa mengabarkan kepada kita bahwa ada penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Cerpen adalah media yang dipilihnya untuk mengungkapkan perasaannya dalam melukiskan sebuah kisah. Cerita dalam cerpen-cerpen Ratna berangkat dari kenyataan sosial yang didapatnya dari teman-temannya. Melalui cerpen, setiap pembaca diajak untuk memahami realitas sosial tersebut untuk pada akhirnya turut merasakan, apakah dirinya menjadi penindas atau yang tertindas. “Itulah tugas cerpen, mengabarkan sebuah kenyataan dan membangunkan mimpi kita dalam sebuah kisah,” kata Ratna yang menemukan jati dirinya dalam pekerjaan menulis cerpen.

Tags :
Kategori :

Terkait