RAKYATCIREBON.ID-Menyusul diterbitkannya surat edaran dari Komite Keselamatan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bagi PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), terhitung hari ini, proyek nasional Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) resmi dihentikan.
Dalam surat edaran yang dikeluarkan Komite Keselamatan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 27 Februari lalu, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) bersama PT KCIC diminta menghentikan sementara proyek KCJB.
Menanggapi penghentian tersebut, Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Meiki W Paendong mengaku menyambut baik. Sebab, megaproyek kereta cepat banyak menimbulkan persoalan, terutama kerusakan lingkungan secara umum, seperti banjir di berbagai wilayah termasuk baru-baru ini terjadi di Bekasi, sehingga pihaknya menyarankan proyek tersebut dihentikan seluruhnya.
“Jadi memang (Baiknya) diberhentikan semua untuk dikaji ulang karena dampaknya tidak hanya terjadi di Bekasi tapi daerah lain juga,” ungkap Meiki saat dihubungi, Senin (2/2).
Berdasarkan data Walhi Jabar, dia menyebutkan, kerusakan lingkungan akibat proyek KCIC tidak hanya banjir di Bekasi, namun terjadi di berbagai daerah termasuk Kabupaten Bandung Barat (KBB) karena realisasinya yang cenderung dipaksakan dan tanpa pertimbangan matang.
Lebih lanjut, paparnya, proyek kebanggaan Presiden Jokowi tersebut sebaiknya dilihat baik dari segi aktivitas maupun permasalahan yang sudah banyak terjadi sejak awal. Selain banyak menyalahi aturan penataan ruang, dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang dimiliki pun terindikasi manifulatif dan sangat lemah.
“Buktinya, seperti rumah warga retak akibat peledakan terowongan di Cimahi dan KBB, meledaknya pipa pertamina tertusuk mesin bor proyek kereta cepat di Melong, Banjir di beberapa titik pemukiman warga di Bekasi, Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung dan Bandung Barat, akibat tertutupnya saluran drainase akibat proyek,” bebernya.
Bahkan, jelas dia, aktivitas proyek tersebut pun menimbulkan polusi kebisingan 1x 24 jam serta tercemarnya Sungai Cileuleuy Walini oleh limbah konstruksi. “Belum lagi sawah juga dijadikan pembuangan tanah konstruksi,” imbuhnya.
Dibeberkan Meiki, sedikitnya ada enam ‘dosa’ yang membuat Kementerian PUPR menghentikan proyek tersebut. Pertama, pembangunan proyek kurang memperhatikan kelancaran akses keluar masuk jalan tol, sehingga berdampak terhadap kelancaran jalan tol dan non-tol.
Kedua, pembangunan proyek kurang memerhatikan manajemen proyek, sehingga terjadi pembiaran penumpukan material di bahu jalan. Akibatnya, mengganggu fungsi drainase, kebersihan jalan, dan keselamatan pengguna.
Ketiga, pengelolaan proyek menimbulkan genangan air pada Tol Jakarta-Cikampek yang menyebabkan kemacetan luar biasa pada ruas jalan tol dan mengganggu kelancaran distribusi logistik
Keempat, pengelolaan sistem drainase yang buruk dan keterlambatannya pembangunan saluran drainase sesuai kapasitas yang telah terputus oleh kegiatan proyek menyebabkan banjir di tol.
Kelima, adanya pembangunan pilar LRT yang dikerjakan oleh PT KCIC di KM 3+800 tanpa izin, sehingga berpotensi membahayakan keselamatan pengguna jalan.
Terakhir, pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), keselamatan lingkungan, dan keselamatan publik belum memperhatikan peraturan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia.
Sebagai informasi tambahan, evaluasi itu sepenuhnya mengikuti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 21/PRT/M/2019 Tentang Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK). Beleid tersebut menjamin keselamatan konstruksi, pekerja, lingkungan, dan publik, yang disetujui oleh Komite Keselamatan Konstruksi. (rmol)