KESERIUSAN pemerintah untuk mengintegrasikan peraturan perundang-undangan melalui Omnibus Law kembali dipertanyakan.
Sejak pidato pertama pelantikan Presiden diperiode kedua, Jokowi berkeinginan akan memangkas regulasi yang saling tumpang tindih dan bertentangan antara yang satu dengan lainnya melalui konsep Omnibus Law hingga saat ini belum kunjung direalisasikan.
Wacana omnibus law sudah berlalu lama, namun sampai detik ini DPR RI belum menerima Surat Presiden (Surpres) yang memerintahkan menteri terkait untuk membahas rancangan undang-undang Omnibus law di parlemen.
Perdebatan mengenai omnibus law di bidang investasi dan lapangan kerja tentunya tidak bisa dibiarkan mengalir menjadi wacana saja, karena konsep ini disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi pada saat pelantikan kenegaraan. Secara politis harus dipertanggung jawabkan di hadapan rakyat Indonesia.
Wacana terkait adanya 51 pasal dari UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan 28 pasal yang tersebar di 7 UU terkait masalah perpajakan, yakni UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai, UU Ketentuan Umum Perpajakan, UU Kepabeanan, UU Cukai, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta UU Pemerintah Daerah hingga saat ini belum rampung
Namun demikian, dalam tataran praksisnya komitmen Presiden tersebut akan menimbulkan banyak persoalan di kalangan masyarakat, terutama berkaitan dengan keabsahan omnibus law sendiri jika diterapkan di Indonesia.
Jauh sebelum Presiden Jokowi mengutarakan konsep omnibus law, Kanada sudah melakukan deregulasi terhadap beberapa peraturan perundang-undangan melalui omnibuslaw. Demikian halnya dengan AS yang membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus yang dikenal dengan istilah omnibus bill.
Jika dilihat dari sistemnya, kedua negara ini yang menerapkan omnibus law termasuk dalam sistem common law, yang tentunya berbeda dengan sistem civil law yang diterapkan Indonesia. Konsep omnibus law dalam Negara-negara common law menjadi wajar banyak dilakukan karena memang dalam konsep hukumnya diperbolehkan untuk menghapus beberapa undang-undang dengan satu undang-undang.
Untuk di Indonesia, tentunya tidak bisa dilakukan karena tidak memiliki landasan hukum yang mengatur diperbolehkannya satu undang-undang bisa menghapus undang-undang yang lain.
Penghapusan satu undang-undang terhadap Undang-undang yang lain dalam konsep omnibus law tidaklah dikenal dalam UU 15/2019 tentang perubahan atas UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam konsep UU pembentukan peraturan perundang-undangan hanya dikenal dengan revisi terhadap Undang-undang yang ada. Taruhlah misalnya terjadi tumpang tindih antara UU yang satu dengan yang lainnya maka yang bisa dilakukan dalam negara civil law seperti Indonesia ini menurut UU 15/2019 adalah merevisi salah satu UU yang dianggap bertentangan tersebut, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih.
Ketika, ada usulan memperbaiki regulasi di bidang kehutanan karena dianggap UU 41/1999 tentang Kehutanan terjadi tumpang tindih dengan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) atau UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bukan berarti menghapus salah satu UU yang ada hanya untuk menghindari ketumpang tindihan tersebut.
Berdasarkan UU 15/2019 perubahan undang-undang cukup diperlukan revisi terhadap salah satu UU tersebut. Artinya konsep omnibus law yang ditawarkan oleh Presiden Jokowi akan banyak mengalami pertentangan hukum jika tidak memasukkan materi muatan omnibus law dalam UU 15/2019 tentang pembentukan perancangan perundang-undangan terlebih dahulu.
Demi kepastian hukum, sebaiknya pemerintah mengusulkan revisi UU 15/2019 terlebih dahulu sebelum mengusulkan UU Omnibus law. Karena dalam perancangan peraturan perundang-undangan UU 15/2019 ini menjadi dasar dalam membuat sebuah UU di DPR RI.