KPK: Antara Pesimisme Dan Optimisme

Jumat 27-12-2019,23:09 WIB

RAKYATCIREBON.ID-Bupati Mesuji, Khamami, diciduk petugas KPK melalui operasi OTT karena diduga kuat menerima suap terkait pelaksanaan proyek infrastruktur diwilayahnya. Bersama 2 (dua) staf intinya, Khamami kemudian dinyatakan terbukti menerima suap sebesar 1,58 miliar dari pemilik proyek, PT Subanus, Sibron Azis, sejak 2017 hingga 2018. Dalam sidang pengadilan Tipikor di Tanjungkarang 5 September 2019, Khamami divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider lima bulan kurungan badan.

Pertanyaan krusial kita: bagaimana KPK bisa mencegah perilaku koruptif Bupati Mesuji setelah lembaga anti-korupsi itu mencium aroma busuk di kantor Kabupaten Mesuji sehingga kasusnya tidak perlu sampai ke Pengadilan Tipikor? Jangan jebak Bupati itu dong, tapi lebih baik cegah sehingga ia tidak usah berurusan dengan instansi hukum.

Angelina Sondakh terbukti terlibat beberapa kasus tindak pidana korupsi sewaktu menjabat anggota Badan Anggaran DPR-RI; antara lain kasus suap di Kemenpora dan proyek pembangunan wisma Atlet SEA Games di Palembang. Yang membongkar kasus Angie, terutama Muhammad Nazarudin, mantan Bendahata Umum Partai Demokrat melalui OTT KPK. Di tingkat I Pengadilan Tipikor, ia divonis 4,5 tahun, tapi hukumannya diperberat jadi 12 tahun di tingkat kasasi dengan Ketua Majelis Hakim Agung Artidjo Alkostar. Di tingkat PK, Angie beruntung, hukumannya diperingan: 10 tahun saja.

Kasus korupsi Angelina Sondakh termasuk menggemparkan dan menyedot perhatian masyarakat luas.

Kenapa kasus Angie harus begitu gegap-gempita sehingga menampar wajah DPR-RI? Kenapa tidak dicegah sejak dini? Orang-orang sealiran Firli Bahuri (Ketua KPK sekarang) mungkin berpandangan begitu.

Kasus suap Akil Mochtar–Ketua Mahkamah Konstitusi, Ratu Atut--Gubernur Banten, Patrialis Akbar–Hakim Konstitusi, Setya Novanto--Ketua DPR-RI, kasus korupsi Kakorlantas Polri dan masih banyak kasus kakap lagi, memang memberikan potret BURUK terutama bagi DPR dan penegak hukum kakap Indonesia. Wajar jika DPR geram terhadap sepak-terjang KPK. Gambaran buruk mencoreng nama baik Indonesia di forum internasional, kata seorang menteri dalam kabinet Jokowi, bahkan membuat investor asing “menciut” hatinya untuk menanam modal di negara kita.

Maka, lahirlah sebuah adagium baru yang disosialisasikan 6 bulan yang lalu: Lebih baik mencegah tindak kejahatan korupsi daripada menindak korupsi. Apa faedah KPK terus melancarkan OTT terhadap terduga korupsi dan menjebloskannya ke dalam sel tahanan, sementara tindakan represif itu tidak menimbulkan efek jera.

Adagium “Mencegah lebih efektif daripada menindak” kemudian melahirkan “teori malaria”. Wabah malaria lebih efektif dicegah daripada dibunuh nyamuknya. Artinya, lebih efektif kita ciptakan dulu lingkungan yang tidak kondusif bagi pertumbuhan nyamuk malaria katimbang bersihkan setelah menjadi wabah dan menggigit manusia sampai mati, sebab kalau sekadar dibunuh nyamuknya, tidak ada jaminan nyamuk-nyamuk lain bisa lenyap.

Syahdan, penderita malaria akan terus bertambah; tindak kejahatan korupsi pun akan semakin mewabah seperti yang kita saksikan sekarang, begitu teori yang disampaikan oleh Firli Bahuri, Ketua KPK sekarang.

Kesimpulannya: kerja KPK selama ini TIDAK EFEKTIF, hanya show of force, hanya menimbulkan “efek popularitas” bagi KPK sendiri, sementara kejahatan korupsi di Indonesia bukan berkurang, malam semakin gila.

Adagium mencegah lebih efektif dari menindak” pertama kali dicanangkan oleh Presiden Jokowi sendiri ketika ia menerima, sekaligus memberikan wejangan, kepada Panitia Seleksi Komisioner KPK pimpinan Dr. Yenti Ganarsih di Istana. Yenti pun langsung setuju dan tancap gas mensosialisasikan adagium tersebut. Karena adagium dilempar pertama kali oleh Presiden, maka banyak kalangan yang ikut-ikutan mensosialisasikannya.

Saya sendiri tidak paham apa makna “[KPK] mencegah korupsi lebih efektif daripada menindak” dan bagaimana meralisasikannya. Bagaimana KPK bisa mencegah jika satu “gerombolan” oknum wakil rakyat melakukan konspirasi rapi dan terorganisir untuk merampok dana proyek e-KTP yang triliunan rupiah? Mencegah mega korupsi proyek Hambalang? Mencegah korupsi rapi bertahun-tahun di Korlantas? Mencegah mark-up yang rapi atas anggaran pembelian alutsista?

Jangan lupa, ketika KPK era sebelumnya mencium aroma busuk yang bernama suap atau mark-up proyek infrastruktur, kejadiannya sudah berlangsung, meski belum sampai tahap final. Anda mau stop, atau berbaik hati membisiki para “koruptor to-be” untuk menghentikan perilaku busuknya seraya mengancam akan dijebloskan dalam sel tahanan jika tidak menghentikannya?

Sejatinya, pencegahan atas tindak kejahatan korupsi sepenuhnya urusan dan kewenangan instansi/lembaga yang bersangkutan !! Bukan domain pekerjaan KPK. Maraknya korupsi di Republik Indonesia karena 4 faktor utama: (1) lemahnya aparat pengawasan di lembaga/kementerian, (2) sistem politik yang korup dan membuat banyak pihak bertindak koruptif, (3), sistem ekonomi super-kapitalistis yang mendorong manusia Indonesia yang memiliki kesempatan untuk memperkaya diri sekayanya dan (4) moral oknum-oknum pejabat/wakil rakyat yang bejat yang selalu mendahulukan kepentingan AKU daripada rakyat dan negara.

Saya tetap haqqul yakin bahwa kinerja KPK era Agus Rahardjo dan sebelumnya cukup cemerlang, meski di sana-sini ada kelemahannya juga. Kelemahannya antara lain: (1) suka main tebang pilih, (b) terlalu cepat mentersangka-kan terduga koruptor, sehingga mengalami kesulitan serius ketika hendak menyeret tersangka ke pengadilan Tipikor. Kadang 2-3 tahun tersangka tidak juga diseret ke pengadilan. (c) Suka show-off, terlalu banyak bicara di media, dan ketika Jubir berbicara di depan media, ada kesan kuat seseorang memang sudah melakukan korupsi.

Tags :
Kategori :

Terkait