ROHADI terus berontak mencari keadilan. Setelah tiga tahun lebih dibui, dia semakin sadar: Keadilan itu tidak ada. Sebagai panitera, dia rentan dijadikan tumbal sendirian. Agar para hakim dan mereka yang punya kuasa lainnya tidak terseret persoalan hukum. Sehingga akhirnya memang tidak tersentuh hukum.
Karena itu dia tak henti dan tak lelah berjuang untuk mendapatkan keadilan. Dengan segala daya upaya. Meskipun dirinya terkurung di balik kokohnya tembok Lapas Sukamiskin, Bandung.
Bagi saya selaku pengamat dan konsultan hukum, keteguhan sikap mantan panitera PN Jakarta Utara itu cukup menarik. Sebab sejauh ini, tak banyak orang yang mau dan punya keberanian untuk memperjuangkannya. Karena tidak sedikit terpidana yang pasrah bongkok-an menerima amar putusan hakim. Walaupun pahit tapi mereka tidak berani bersuara.
Di zaman sekarang, tidak sedikit terpidana yang mengambil sikap seperti itu. Dengan beberapa alasan, tentunya. Bisa jadi karena memang tidak memiliki pengetahuan tentang hukum. Buta hukum. Tapi bisa jadi juga karena tidak punya dukungan yang kuat secara finansial, untuk memperjuangkan keadilan hukum itu.
Seperti pernah diungkapkan Menkopolhukam Prof. Dr. Mahfud MD: Hukum sekarang cenderung dijadikan industri. Karenanya, yang salah bisa dibenarkan. Yang benar bisa disalahkan. Yang tidak salah bisa dihukum. Sedangkan yang nyata-nyata salah bisa lolos dari jeratan hukum. Karena ketika hukum jadi industri, keadilan itu lebih berpihak kepada mereka yang mampu memainkan hukum. Termasuk mereka yang punya uang, yang dapat membeli seluruh perangkat hukum dengan kekuatan finansialnya. Hal itulah barangkali yang menyebabkan lahirnya istilah “wani piro”.
Tak dapat dipungkiri, sekarang negeri ini memang sedang dirundung berbagai masalah hukum. Yang pelik-pelik tentunya. Akibat penegakan hukum yang tidak berkeadilan. Karenanya, bila sudah dijatuhi vonis hakim, tidak sedikit terpidana yang tidak berani lagi menempuh upaya selanjutnya. Ketika masih ada upaya hukum lainnya yang dapat ditempuh, bila terpidana yang bersangkutan merasa hukuman yang dijatuhkan kepadanya tidak tepat. Ketika dirinya merasa tidak mendapatkan keadilan secara hukum.
Sebagaimana halnya Rohadi. Dia mengaku sudah melakukan kesalahan. Karena itu dia siap dihukum. Tapi dia merasa ada yang tidak benar. Tidak adil. Karena hukuman yang dijatuhkan kepadanya tidak sebandingkan dengan bobot kesalahannya. Sehingga dia tidak henti menuntut keadilan.
Tapi tidak demikian dengan banyak terpidana lainnya. Mereka umumnya takut menempuh upaya hukum selanjutnya. Karena bukankah begitu banyak kasus yang muncul ke permukaan, ketika seorang terpidana yang melakukan upaya banding, misalnya, dia bukannya memperoleh keringanan hukuman. Sebaliknya malah tidak sedikit yang di tingkat banding justru mendapatkan hukuman yang lebih berat.
Mengapa bisa demikian? Karena aturan presumption of innocence alias praduga tak bersalah tidak jarang diabaikan dalam banyak kasus di peradilan kita.
Begitu seseorang ditangkap karena suatu pelanggaran pidana, dia seolah sudah jadi terpidana. Apalagi kalau sudah dijadikan tersangka.Ketika nama dan foto dirinya dengan cepat muncul di media massa.
Dengan demikian, sudah terjadi apa yang disebut “trial by the press”(baca: dipidanakan oleh pers). Secara de facto, seolah sudah jadi terpidana. Karena di mata masyarakat dia sudah bersalah. Sudah diadili sebelum masuk ke dalam peradilan yang sesungguhnya.
Hal itulah yang membuat tidak sedikit orang yang tidak mendapatkan keadilan secara hukum. Artinya, asas equality before the law (EBL) atau kesamaan di depan hukum sudah tak ada. Karena konsep EBL itu tidak jarang dilanggar bahkan oleh para penegak hukum sendiri, yang merupakan wakil Tuhan dalam menerapkan hukum.
Semua itulah yang membuat begitu banyak terpidana pasrah saja menerima segala amar putusan hakim yang dijatuhkan kepadanya.
Tidak Demikian Rohadi
Dalam hal inilah saya melihat, Rohadi tidak demikian. Walaupun dia mengakui kesalahannya dan telah menyatakan permohonan maafnya kepada seluruh masyarakat Indonesia, namun dia tetap menuntut ditegakkannya keadilan di depan hukum.