RAKYATCIREBON.ID-Presiden Soeharto bisa berkuasa 30 tahun lebih karena ia praktis menguasai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); sedang Presiden pada era Orde Baru dipilih oleh MPR. MPR(S) terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya. Ada se kitar 8 Fraksi waktu itu: Fraksi PDI, Fraksi PPP, Fraksi Golongan Karya (yang notabe adalah Partai Golkar), Fraksi Utusan Daerah (FUD), Fraksi ABRI (F-ABRI), Fraksi Utusan Golongan (FUG) dan fraksi lainnya.
Kekuatan oposisi hanya terhimpun dalam F-PDI dan F-PPP. Gabungan kekuatan kedua fraksi ini hanya 30-35%. Partai politik ketika itu tidak bisa bergerak bebas, karena diam-diam dikendalikan oleh Mendagri selaku Pembina Politik Dalam Negeri. Pernah sautu ketika PPP di bawah kepemimpinan H. Naro mencoba “mbalelo”, penguasa langsung marah, dan dengan berbagai cara, akhirnya Naro didepak dari kepemimpinan PPP. Partai Demokrasi Indonesia pada 1996 juga dicurigai penguasa mau bertindak “macam-macam”. Maka, digoyanglah kepemimpinan PDI, dan diciptakan kepemimpinan kembar, antara Ibu Megawati Soekarnoputri dan Soerjadi yang didukung penuh oleh penguasa.
Fraksi Golongan Karya 100%, jelas, bagian dari kubu penguasa; memang Golkar secara historis selalu berada di kubu Pemerintah. FUD terdiri atas wakil-wakil DPRD. Ketika itu DPRD di bawah kendali Menteri Dalam Negeri, sedang Mendagri adalah pembantu Presiden. F-ABRI idem ditto: di bawah kendali Panglima Angkaan Bersenjata yang tunduk pada Presiden selaku Panglima Tertinggi ABRI. FUG terdiri atas wakil-wakil buruh, pers, guru dan lain-lain; semua dangkat oleh DPRD, sedang DPRD–seperti sudah dikatakan tadi, praktis di bawah kendali Menteri Dalam Negeri.
Tidak heran, tiap kali MPRS menggelar sidang pleno untuk memilih Presiden “baru”, yang terpilih adalah Soeharto, terpilih lagi, dan terpilih lagi. Dan Pak Harto pun dituding mau jadi “presiden seumur hidup”, tentu para pembantunya membantah keras tudingan ini.
Dr. Amien Rais, [ketika itu] pengajar ilmu politik Universitas Gajah Mada yang kritis mulai melancarkan wacana supaya masa jabatan presiden dibatasi 2 (dua) periode. Ia mensitir ucapan Sir John Dalberg-Acton, Menurut Scton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men...”. Pernyataan ini disampaikan Acton kepada Uskup gereja Anglican; minta pimpinan gereja Anglican itu membantu menyadarkan semua penguasa untuk tiak terjebak dalam “libido kekuasaan”, atau kerakusan kekuasaan. Sebab makin lama seseoang berkuasa, selalu timbul kecenderungan untuk melakukan korupsi.
Pendapat Acton ini, sesungguhnya berdasarkan pendapat Plato yang mengidentikkan kekuasaan dengan korupsi atau tindakan sewenang-wenang yang sangat merugikan rakyat. Maka, Plato dan Aristoteles kemudian melahirkan teori Demokrasi yang amat beken dan banyak dipraktekkan oleh pemerintah di seantero dunia yang menganut sistem demokrasi.
Karena keberanian Amien Rais, akdemisi pintar lulusan University of Chicago, regime Soeharto akhirnya runtuh pada Mei 1998.
Itulah sebabnya, Amandemen UUD 1945 yang PERTAMA pada 1998 langsung “menembak” Pasal 7 UUD 1945 menjadi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Karena [interpretasi karet] Pasal 7 inilah yang terutama membuat negara kita kacau. Rakyat tidak diberikan kesempatan untuk mendapatkan presiden baru; rakyat setengah dipaksa untuk memilih Pak Harto tiap 5 tahun.
Dengan Amandemen I UUD 1945, masa jabatan presiden dan wakil presiden DIKUNCI RAPAT-RAPAT, YAITU 5 tahun plus 5 tahun, atau 10 tahun. Dengan alasan apa pun, Presiden dan Wakil Presiden TIDAK BISA dipilih kembali setelah menjabat 10 tahun.
Kini tiba-tiba muncul wacana supaya MPR mengamandemen [lagi] Pasal 7 hasil Amandemen UUD 1945 oleh MPRS pada 1998. Jokowi boleh tambah satu periode lagi setelah masa tugasnya selesai pada 2014!!
Bagi saya, wacana ini ANEH dan bersifat IBLIS!
Jokowi dan Ma’ruf Amin belum satu bulan menjabat Presiden Wakil Presiden RI, tiba-tiba wacana iblis ini digulirkan dengan cepat sekali. Bahkan Pimpinan MPR bersafari ke mana-mana, termasuk ke pengurus PWI Pusat dan pimpinan partai-partai oposisi seperti PKS. Gerindra tevelah posisinya: ada yang setuju, ada yang menolak. Nasdem setuju. Saya menonton diskursus tentang masalah ini di sebuah stasiun televisi yang antara lain menghadirkan Sekjen Partai Nasdem, Johny G. Plate. Dengan enteng Johny berkilah, jika dalam pemilu nanti, rakyat memang menghendaki Jokowi dipilih kembali, kenapa tidak boleh? Yang penting, pemilu diselenggarakan jurdil. Bukankah rakyat yang bertahta dalam sisten demokrasi? Kira-kira begitu pandangan Sekjen Nasdem.
Saya geleng-geleng kepala mendengar argumentasi Johny Plate yang kita menjabat Menteri Kominfo.
Golkar sejal awal tegas pandangannya: Menolak Presiden dipilih oleh MPR, menolak pula perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden; begitu juga sikap PDIP. Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, menegaskan partainya hanya menginginkan amandemen UUD 1945 terbatas dan tidak sampai membahas soal perubahan masa jabatan presiden. PDIP menilai, masa jabatan presiden dua periode atau sepuluh tahun masih ideal.
Sikap publik, terutama akademisi dan para ahli Hukum Tata Negara, umumnya menolak tegas gagasan 3 periode masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.