Perempuan Tidak Diberi Tempat di Pilbup Majalengka

Jumat 02-02-2018,07:42 WIB


RAKYATCIREBON.CO.ID  - Tidak adanya calon perempuan yang ikut dalam pemilihan bupati dan wakil bupati Majalengka pada pilkada Juni 2018 mendapatkan tanggapan beragam.

Anggota DPRD Kabupaten Majalengka, H Sudibyo BO SSos SE MM mengatakan, sebenarnya minat perempuan untuk maju jadi calon bupati dan wakil bupati Majalengka tidaklah rendah.

Itu terbukti dengan Bupati Majalengka sebelum Sutrisno, yakni almarhumah Hj Tutty Hayati Anwar. Bahkan disebut sebagai bupati perempuan pertama di Indonesia.

Selain itu, pada tahap penjaringan juga ada bakal calon perempuan. Akan tetapi tidak mendapatkan rekomendasi dari partai terkait. Dirinya menilai, di Kabupaten Majalengka baik itu di parpol maupun DPRD sudah menjalankan amanat Undang-undang dengan mengakomodir 30 persen anggota perempuan.

\"Penyebab pastinya mari kita cari tahu kenapa kondisi itu bisa terjadi. Kita dorong kaum perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam perhelatan politik di Kabupaten Majalengka,\" ujarnya Kamis (1/2).

Tingkat keterpilihan di masyarakat yang masih rendah disinyalir menjadi salah satu faktor pemicu rendahnya ketertarikan perempuan di dunia politik.

Kalaupun bupati Majalengka yang sebelumnya adalah perempuan, karena pada waktu itu dipilih melalui DPRD, bukan pemilihan langsung oleh masyarakat seperti sekarang.

Sementara itu, Pemerhati Politik kabupaten Majalengka, Haris Azis Susilo SIP membeberkan beberapa alasan minimnya calon kepala daerah dari perempuan.

Menurut dia, alasan pertama adalah komitmen memberi kesempatan pada kader perempuan sangat lemah dilakukan partai politik (Parpol). Kemudian, adanya kemungkinan perempuan yang tidak mau berpartisipasi mencalonkan diri.

“Alasan ketiga yaitu perempuan harus diakui masih kalah bersaing dengan laki-laki dalam politik. Padahal sesungguhnya, pemerintah sangat membutuhkan kontribusi perempuan dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik,” ujar Haris kepada Rakyat Cirebon, Kamis (1/2).

Oleh karena itu, kata dia, dalam  UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dijelaskan soal ketentuan Kepengurusan, dan jumlah Calon Legislatif (Caleg) yang diusung Parpol. Kedua hal itu harus memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan.

Selain itu, lanjut Haris, dengan adanya kebijakan afirmatif action itu, kontribusi politik perempuan terutama di DPRD belum dinilai optimal.

Walaupun jumlah perempuan di DPRD terus meningkat setiap kali pelaksanaan Pemilu. Namun kontribusi politik perempuan dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik belum memenuhi harapan sebagaimana yang menjadi tujuan diterapkan afirmatif action.

Dalam hal kepentingan perempuan, kata dia, belum banyak diperjuangkan para politisi perempuan di DPRD. Kebanyakan yang diperjuangkan adalah tema-tema yang sifatnya umum yang juga sama diperjuangkan oleh politisi pria.

Menurut Haris, perjuangan mengatasnamakan identitas perempuan belum begitu menonjol dalam sebuah produk kebijakan atau program yang diusulkan ke eksekutif.

Faktanya adalah kepekaan yang seperti belum terlatihnya para politisi perempuan ini dalam memahami isu-isu publik perempuan sebagaimana yang diperjuangkan oleh para aktivis perempuan selama ini. Padahal, kata Haris, tidak semua dari mereka memiliki kepekaan terhadap isu-isu dan perjuangan perempuan.

“Salah satu penyebab adalah tidak selektifnya para elit partai politik dalam memilih calon anggota Legislatif. Banyak  aktivis perempuan yang selama ini berjuang membela kepentingan perempuan, namun tidak diberi kesempatan oleh Parpol untuk diusung sebagai caleg. Kebanyakan perempuan yang diusulkan adalah para perempuan keluarga dekat pejabat,” tambahnya.

Terpisah, Komisioner KPU Kabupaten Majalengka, Sarkan SSos MM mengatakan rendahnya partisipasi perempuan dalam pilkada 2018 tak lepas dari sepinya peserta kontestasi.

Sementara dalam pilkada sebelumnya ada 3-5 pasangan calon yang bersaing di satu daerah, kali ini hanya ada 2-3 pasangan calon. “Partisipasi pencalonan secara umum memang menurun,” ujarnya.(hsn)
Tags :
Kategori :

Terkait